Saya pernah diceritai oleh seorang teman yang bertugas di unit pemadam kebakaran, bahwa dari semua jasad makhluk hidup yang pernah dia jumpai dan dievakuasi dari sebuah peristiwa kebakaran, baik di ladang, di hutan atau di rumah-rumah permukiman, jasad manusia adalah jasad yang paling bau di antara semua jasad yang gosong. Ya, jasad manusia yang gosong dimakan api.
Lagi katanya, "Aku tidak tahu, apakah jasad paling bau dari jasad manusia gosong itu ada hubungannya dengan dosa manusia yang mungkin lebih besar dari pada dosa makhluk hidup lainnya." Dalam hal ini dia mungkin membandingkan dosa manusia yang gosong, entah karena apa, dengan dosa singa liar yang gosong dalam sebuah peristiwa kebakaran hutan atau dosa seekor kucing yang gosong dalam sebuah peristiwa kebakaran di pemukiman kumuh.
Entah apapun penyebabnya, saya tidak ahli dalam bidang ini, yang jelas itu adalah fakta menurut seorang teman yang memang bekerja di lapangan itu. Tapi apa yang perlu dipetik dari perihal ini adalah, fakta bahwa memang sering kali sebagai seorang manusia yang hidup di antara sekitar 8 atau 9 miliar manusia lainnya di dunia, kita justru sering kali mendapatkan kekecewaan dan kepahitan dari sesama manusia itu sendiri.
Mungkin akan berbeda, bila babi, anjing atau kucing yang mengucapkan kata-kata kasar yang menyakitkan, atau kata-kata lembut tapi sebenarnya beracun nan mematikan kepada kita, yang mana hal itu nyaris tidak mungkin, dibanding ucapan dari sesama manusia sendiri. Bila babi, anjing atau kucing berucap sebaliknya dari maksud sebenarnya di dalam hatinya, dengan moncongnya yang serong, mungkin kita bisa langsung mengobati diri dengan menyadari bahwa yang berbicara adalah seekor babi, anjing atau kucing.
Namun, bila itu, kata-kata kasar yang menyakitkan, atau kata-kata lembut tapi sebenarnya beracun nan mematikan datang dari moncong serong seorang manusia, maka barangkali itu adalah bukti bahwa kesadaran manusia memang temporer dan hanya berlaku sesaat. Kesadaran itu hanya muncul misalnya pada saat mencium bau jasad sesama kita yang gosong, di mana yang tercium hanya bau anyir dan amis dari seonggok jasad gosong.
Maka dari itu, tidak heran mucul peribahasa yang mengatakan bahwa adalah lebih mudah dan lebih lekas kesadaran dan pendirian manusia berubah dibandingkan merubah posisi periuk saat menanak nasi. Tapi itu dulu.
Barangkali kini peribahasa tentang kesadaran dan pendirian manusia yang mudah berubah-ubah itu lebih tepat disandingkan dengan kesulitan merubah daftar menu sarapan pagi, makan siang dan makan malam, yang juga sebetulnya sangat mudah di zaman ini, di mana manusia sudah lebih banyak menderita oleh karena obesitas karena kelebihan makan dari pada kelaparan. Mungkinkah?
Mungkin saja, bukankah karena itu manusia juga seolah tampak sepakat memproklamirkan dengan kecerdasannya yang tampak pongah tapi barangkali sebenarnya dangkal dan gersang, bahwa integritas adalah seperti apa diri kita dan apa yang kita lakukan saat tidak ada orang lain yang mengawasi kita? Banyak manusia yang menyadari kebenaran atas makna pernyataan mutiara itu, tapi hanya secara teorema. Pada praktiknya, barangkali tidak.
Buktinya, banyak sekali manusia bermulut serong, lain di mulut lain di hati. Dengan mudahnya, mulut manusia akan berkata manis tentang semua yang baik, semua yang indah, semua yang bermanfaat dan semua yang penting, tetapi apa yang dipikirkan apalagi yang dilakukannya adalah kebalikan dari semua yang baik, yang indah, yang bermanfaat dan yang penting. Itu juga adalah fakta, kalau terlalu sumir untuk mengklaim bahwa itu adalah aksioma.
Paling halus, manusia dengan kecerdasannya yang tampak pongah tapi sebenarnya dangkal dan gersang itu hanya akan berdalih untuk menutupi kelemahannya dengan berkata, "Sebenarnya aku memikirkan dan berniat melakukan semua yang baik, yang indah, yang bermanfaat dan yang penting, tetapi begitu akan bertindak, kelemahanku sebagai manusia, justru menyebabkan yang tidak baik, yang tidak indah, yang tidak bermanfaat dan yang tidak penting yang aku lakukan."
Maka bukan masalah rendahnya kesadaran yang menyebabkan manusia dalam tindakannya mengingkari apa yang dia sebut sebagai integritas, sehingga dengan muka songongnya, moncongnya akan segera serong dari kesadarannya. Bukan sama sekali, tapi justru kemanusiaannyalah yang menyebabkannya demikian.