Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Mengapa Suka Sekali Minta Bantuan pada Orang yang Lebih Sibuk?

Diperbarui: 3 Desember 2019   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: sedang sibuk kerja. (sumber: freepik.com)

Dalam sebuah ibadah, seorang pendeta yang menyampaikan khotbah dari atas mimbar melontarkan sebuah pertanyaan sebagai pengantar renungan. "Kepada siapakah biasanya kita meminta pertolongan dalam hidup ini?" tanyanya.

Karena pertanyaan itu dilontarkan dari atas mimbar dan sepertinya tidak hendak menunggu jawaban dari jemaat, maka akhirnya sang pendetalah yang menjawab sendiri pertanyaannya.

Namun, di barisan kursi jemaat, di antara sesama kaum bapa yang hadir pada ibadah terdengar gumaman di antara mereka sebagai respons atas pertanyaan itu.

Sebagiannya sudah terangkum dalam 4 kategori manusia yang ada dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dijelaskan oleh sang pendeta. Katanya, bila dipilah sekurang-kurangnya ada 4 golongan manusia.

Pertama, "orang yang tahu apa yang dia tahu", itu adalah golongan orang yang menyadari bahwa dia pintar.  Kedua, "orang yang tahu apa yang dia tidak tahu", itu adalah golongan orang yang mau belajar.

Ketiga, "orang yang tidak tahu apa yang dia tahu", itu adalah golongan orang yang tidak sadar atau tidak yakin pada potensi dirinya, dan keempat, "orang yang tidak tahu apa yang dia tidak tahu", menurutnya itu adalah orang yang bodoh.

Kita tidak akan membahas terkait golongan orang yang bodoh, karena menurut saya orang yang bodoh sama tidak jelasnya dengan apa yang dimaksud dengan orang yang pintar. Saya justru lebih tertarik dengan apa yang disebut sebagai orang yang sadar dan tidak sadar.

Barangkali ini berkaitan juga dengan pandangan yang menganggap bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh 1% nasib atau keberuntungan dan 99%-nya adalah kerja keras.

Atau, pandangan yang menyatakan bahwa kepintaran itu hanya 1% dari kesuksesan, selebihnya ditentukan oleh 99% kerja keras.

Di atas semua itu memang patut kita katakan bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Namun, kita akan menghindari pembahasan seperti itu, karena ternyata bila membahas tentang Tuhan justru akan membawa kita kepada perbedaan pendapat yang bisa menyebabkan selisih paham.

Bila dalil tentang rasio persentase antara nasib, keberuntungan, dan kepintaran dengan kerja keras serta hubungannya dengan kesuksesan itu hendak dibuktikan, maka kita perlu meninjau banyak kenyataan yang ada di sekitar kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline