Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Menjadi Miskin Bersama Orang Miskin dalam Kepulan Asap Rokok

Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

i.pinimg.com

Pada suatu sore yang dingin berangin, saya ke warung membeli sebungkus rokok. Ada dua orang bapak yang sedang duduk-duduk di dipan yang ada di teras warung. Mereka berbincang sambil berdiang menghangatkan diri, mengitari perapian kecil di depannya.

Salah seorang bapa berkata: "Saya suntuk juga di rumah aja, minggu depan kita pergi memancing ke danau yok?" Lalu temannya menimpali: "Ah, rokok saja tidak terbeli, ngapain juga mancing" katanya. "Kenapa rupanya, kalaupun tak ada rokok apa hubungannya dengan memancing?" tanya bapa yang tadi.

Lalu jawab temannya itu: "Kalau nggak ada rokok kau memancing, apa nggak takut kau nanti melamun dan terjatuh ke danau itu?" katanya.
Percakapan realisme sosial itu menunjukkan betapa kemiskinan menghadirkan kontradiksi dan ironi dalam hidup. Bahkan dalam kemiskinan pun, bapa dari sebagian ras manusia masih menempatkan rokok sebagai kebutuhan pokoknya.

Ada sebuah cerita, pada suatu waktu menjelang akhir tahun 1947. Sitor Situmorang yang bercita-cita menjadi seorang jurnalis, mencoba menjejak kariernya mulai dari Yogakarta.

Suatu ketika, ia mengikuti ibadah perayaan hari natal di Gereja Batak Gondolayu, Yogya. Pada saat acara kebaktian itu, berkhotbahlah Amir Syarifuddin, seorang Muslim keturunan Batak-Angkola asal Tapanuli Selatan, yang menjabat Menteri Pertahanan dalam periode pemerintahan pada masa perjuangan, pasca ditaklukkannya Belanda oleh Jepang.

Khotbahnya memukau, dengan suara lantang ia berkata: "Akan tiba masanya kita sebagai manusia, sebagai orang yang mengaku beragama, hanya akan bisa merasa 'bahagia' apabila kita mampu meneladani Kristus, menjadi miskin bersama orang miskin!"

Lalu kembali ke warung, "Ini rokoknya bang" kata pemilik warung. Lalu saya pun ikut duduk bersama mereka berdiang. Tanpa ada seorang pun dari mereka yang menertawakan percakapan soal rokok dan memancing yang baru saja terjadi, merekapun larut dalam lamunan masing-masing, di antara kepulan asap rokok dan asap tempurung kelapa yang membara.

Mungkin tidak kurang horor, apa yang merupakan lelucon ironis dalam kenyataan bahwa orang-orang miskin ternyata adalah juga orang-orang yang seringkali membuat keputusan-keputusan yang tidak masuk akal, untuk tidak mengatakannya sebagai keputusan yang salah. Entah, karena rela ataukah karena terpaksa, kami melamun di antara kepulan asap rokok.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline