Dalam film fiksi berjudul Waterworld (1995), yang dibintangi oleh Kevin Costner, diceritakan bahwa hampir seluruh bagian daratan di bumi telah tertutup oleh air laut akibat lapisan es di kutub yang mencair. Termasuk kota New York dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang ikonik, telah terbenam jauh di dasar laut.
Adapun daratan yang bisa menjadi tempat berpijak hanyalah berupa rangka-rangka besi rongsok yang dirangkai sedemikian rupa menyerupai atol agar bisa mengapung di permukaan air, atau bangkai-bangkai kapal tua yang difungsikan menjadi semacam rumah tinggal, dengan atap-atap darurat dari tenda dan kain-kain sobek. Itu bagaimanapun adalah sebuah rumah tinggal yang kumuh.
Satu-satunya daratan alami yang diyakini masih ada tersisa pada masa itu adalah apa yang mereka sebut sebagai Dryland. Sesuai petunjuk peta tersembunyi di punggung seorang bocah perempuan bernama Nola, Dryland adalah daratan dalam peta dunia yang ditampilkan sekilas pada film itu yang kita kenal sebagai Tanjung Harapan (Cape of Good Hope).
Itu adalah sebuah tanjung bebatuan yang terletak di pantai yang menghadap Samudera Atlantik di Afrika Selatan, yang merupakan rumah bagi legenda The Flying Dutchman. Ini merupakan gambaran kehidupan suram, ibarat sebuah kapal yang mengarungi samudera kehidupan, yang diawaki oleh pelaut hantu yang tersiksa dan terkutuk, yang ditakdirkan selamanya untuk mengalahkan tantangan jalan kehidupan melalui perairan yang berdekatan dengan daratan, tapi tanpa pernah berhasil menjejakkan kaki di atasnya.
Melihat realita di bumi yang sudah terendam oleh air laut pada masa itu, menjadi ironis bahwa manusia saat itu sangat kesulitan mendapatkan air bersih. Maka, Kevin Costner yang dipanggil juga Ulysses, menampung air seninya sendiri untuk disuling menjadi air minum di kapalnya yang multi fungsi. Bahkan, sebatang pokok tomat dengan buah sebiji yang ditanam di dalam toples adalah harta yang sangat berharga baginya. Bagaimana tidak, karena tidak mudah bercocok tanam tanpa daratan dan pasokan air tawar yang cukup.
Menurut saya, kisah di film itu adalah gambaran suram masa depan manusia yang gagal menjaga lingkungan, khususnya mengelola air. Hingga akhirnya, masalah air bahkan menjadi salah satu sumber masalah besar bagi manusia.
Masalah air ini, meskipun bukan dalam kadar sedramatis Waterworld, sebenarnya memang telah menjadi masalah global, yang juga berdampak secara nasional dan lokal. Masalah air adalah masalah pelik yang langsung menyentuh kepentingan pribadi setiap orang di setiap keluarga.
Merujuk kepada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, logika sederhananya penguasaan dan pengusahaan kekayaan alam ini, termasuk air, dilakukan oleh lembaga pemerintah sebagai representasi negara, atau setidaknya di bawah pengawasan pemerintah atau negara.
Lembaga pengelolaan air untuk kepentingan publik di Indonesia, salah satu dulunya adalah dengan membentuk Badan Koordinasi Air Minum, yang selanjutnya disebut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pada tahun 1991. Untuk menjalankan fungsi koordinasi antar PDAM ini, maka dibentuklah wadah yang bernama Perhimpunan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi).
Namun, sepertinya pengelolaan air minum oleh negara melalui PDAM ini kebanyakan tidak berhasil alias merugi. Rata-rata PDAM merugi dengan menyisakan berbagai persoalan, baik dalam hal pengelolaan sumber daya manusia, kepuasan atas pelayanan maupun masalah keuangan. Maka, tidak jarang saat ini, lebih banyak daerah yang lebih memilih menyerahkanoperasional pengelolaan air minum untuk kepentingan publik kepada swasta.
Kali ini, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang masalah pengelolaan air ini di tataran global, nasional maupun lokal. Saya hanya berbicara tentang air dan hubungannya dengan saya. Ini adalah masalah tentang air dalam keseharian, antara aku dan air.