Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Mengenali dan Mencintai Budaya Sendiri Melalui Sosok Pater Leo Ginting

Diperbarui: 31 Juli 2019   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pater Leo Joosten Ginting (sumber: https://www.facebook.com/KeuskupanMedan)

Pada suatu kesempatan dalam perjalanan menuju ke sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Payung Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, dalam rangka pembinaan desa percontohan pada tahun 2006 yang lalu, saya yang bertugas mengemudikan mobil berpapasan dengan sebuah mobil minibus bermesin diesel yang menuju arah sebaliknya ke Kabanjahe, ibu kota kabupaten. Tidak ada yang istimewa dengan kejadian itu. Satu hal yang bagi saya terasa tidak biasa adalah bahwa yang berada di balik kemudi mobil diesel itu adalah seorang bule, orang barat.

Ia memegang kemudi dengan sebatang rokok kretek terselip di antara bibirnya. Kami berpapasan persis di tikungan, dengan demikian saya mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bisa setengah memutar melihat sekilas sosoknya dengan lengkap. Ia mendongakkan kepalanya keluar jendela untuk mengamati kendaraan lain yang menuju kearahnya dari arah berlawanan.

Itu adalah perilaku khas sebagian besar warga lokal yang berkendara di kampung kami, khususnya para supir angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang sering melaju dalam kecepatan tinggi dengan kesulitan geografis tertentu sehingga dibutuhkan semacam kemampuan teknis berkendara yang khas. Fenomena ini sering terlihat pada bus-bus angkutan umum yang melintasi jalan raya sehari-harinya pada rute Medan-Kabanjahe, atau sebaliknya.

Selepas papasan itu, saya bertanya kepada bos saya yang duduk di sebelah, siapa gerangan pria bule paruh baya yang terlihat tidak biasa untuk ukuran seorang pelancong itu. Tidak lain, dia adalah Pater Leo Joosten OFMCap. Kebetulan bos saya ini adalah seorang Katolik, jadi dia mengenal beliau dengan cukup baik.

Leo Joosten, Pembuat Kamus Batak (Foto oleh : Josie Susilo Hardianto)

Nama lengkapnya adalah Leo Joosten, yang lahir di Nederwetten, Belanda pada tahun 1942. Sejak tahun 1994, ia telah resmi menjadi warga negara Indonesia, bahkan telah disahkan menjadi orang Karo dengan marga Ginting, salah satu dari lima marga orang Karo. Aslinya, dia adalah seorang berkebangsaan Belanda, tapi dalam perjalanannya menjadi lebih native dari pada kebanyakan orang asli Karo, dewasa ini. Ia terasa native baik dalam kosakata, gaya bahasa, tutur kata dan tatakramanya, mungkin tidak dalam soal intonasi.

Pada blog Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara (IKKSU), yang diposting oleh Swandy Sihotang pada 25 November 2008, dengan judul artikel "Leo Joosten, Pembuat Kamus Batak," saya mendapatkan penjelasan tentang profil Romo Leo. Ini adalah artikel yang telah saya simpan selama lima tahun terakhir ini.

Di sana dijelaskan bahwa begitulah Eindhovens Dagblad, sebuah media Belanda,  pada tahun 1995 mengungkapan kesan atas Pater Leo Joosten OFMCap, rohaniwan Katolik asal Belanda yang kini menetap di Berastagi, Karo-Sumatera Utara. Dijelaskan juga, bahwa sehubungan dengan peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, Pater Leo mengimbau warga Belanda untuk mengembalikan lagi berbagai tulisan, artefak, dan beragam benda lain yang berkaitan dengan Batak yang telah pernah dibawa pergi oleh penguasa Belanda ketika menguasai Indonesia.

Tak disangka, banyak sekali warga Belanda yang menanggapi imbauan itu. Bahkan, seorang kolektor di Belanda mau menyerahkan sebuah buku "Lak-lak" yang sangat tua. Buku Lak-lak merupakan manuskrip Batak zaman dulu yang berisi kisah-kisah dan legenda Batak, tulisan sastra, serta berbagai mantra dan ramuan obat-obatan asli Batak, yang diperkirakan dibuat pada abad ke-16.

Namun, saat itu buku yang sangat tua itu belum dapat dibawa ke Indonesia. "Dibutuhkan ruangan khusus dengan standar tertentu agar buku itu tidak rusak. Selain itu, tenaga ahli dan petugas yang memiliki kompetensi tentang itu belum ada di sini. Museum di Pangururuan, Samosir, pun masih perlu dipersiapkan lagi," kata Pater Leo.

Dia juga menambahkan bahwa diperkirakan, sekitar 1.000 Lak-lak dari berbagai era kini tersebar di seluruh dunia. Ada 200 buah di Belanda, 100 buah di London, 100 buah di Paris, dan beberapa di tempat lain seperti Jerman bahkan di Moskwa. Ia berharap Lak-lak itu semua dapat kembali ke Indonesia.

Kalau bisa dicontohkan, barangkali dari figur pater Leo kita bisa mendapatkan contoh gambaran bagaimana cara kerja seorang etnograf lapangan dan antropolog dalam menjalankan tugas etnografi dan antropologi secara partisipatif. Sebagaimana antropolog Polandia, Bronislaw Malinowski.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline