Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Pelajaran dari "Paranoia," Tantangan dan Peluang dalam Pengembangan Transaksi Non Tunai Melalui Jaringan PRIMA

Diperbarui: 23 Juni 2019   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://en.wikipedia.org

Dalam publikasi penelitian pendahuluan LPEM FEB-UI terkait inklusivitas keuangan, yang dilaksanakan pada Bulan Desember 2016 dan Januari 2017, dengan judul penelitian "LAYANAN KEUANGAN DIGITAL DAN LAKU PANDAI: INKLUSIVITAS, KENDALA, DAN POTENSI," yang mana survei dalam penelitian itu dilaksanakan di dua kota/kabupaten di Aceh yaitu Lhokseumawe dan Aceh Utara, serta dua kabupaten di NTB yaitu Lombok Timur dan Lombok Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai inklusivitas dari sisi akses, penggunaan, dan kualitas dari kedua program di atas, yakni mengenai inklusivitas Layanan Keuangan Digital (LKD) oleh Bank Indonesia dan Layanan Keuangan tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif, disingkat Laku Pandai. Ttermasuk potensi dan kendala yang dihadapi dalam ekspansi agen.

Pemilihan daerah survei didasarkan kepada empat indikator, yakni kesiapan dari sisi supply/ cakupan listrik, sinyal telekomunikasi yang kuat, adanya akses internet dan keberadaan ATM yang masih rendah. Jumlah ATM rendah mengindikasikan masih sedikitnya lembaga pelayanan keuangan yang beroperasi di kota/kabupaten tersebut yang juga merupakan kesempatan bagi lembaga keuangan untuk beroperasi di pasar yang selama ini belum terlayani oleh layanan keuangan. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancara 246 pemilik usaha (154 agen dan 92 nonagen) dan 444 pengguna (230 pengguna LKD dan 214 pengguna Laku Pandai).

Salah satu hal yang menjali kendala paling jelas dalam layanan keuangan digital ini sesuai dengan hasil survei, selain kendala soal keterbatasan infastruktur adalah terkait literasi keuangan. 

Hal ini berkaitan dengan ketidaktahuan atau kurangnya keahlian. Hasil ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Nethope dan Intermedia yang juga menemukan hanya 6%-8% masyarakat yang mengetahui tentang provider layanan keuangan digital dan hanya 2,8% yang memahami konsep layanan keuangan digital.

Apa masalah selanjutnya yang bisa muncul akibat literasi yang rendah selain ketidaktahuan dan kurangnya keahlian? Tidak lain adalah sebuah paranoia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paranoia adalah penyakit jiwa yang membuat penderita berpikir aneh-aneh yang bersifat khayalan seperti merasa dirinya orang besar atau terkenal; atau penyakit khayal.

Paranoia merupakan sebuah kata dari bahasa Yunani Kuno dan merupakan asal dari kata Paranoid, yang berarti gangguan mental yang diderita seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Menurut wikipedia, paranoid dikatakan sebagai bentuk gangguan bila perilaku tersebut sifatnya irasional, menetap, mengganggu dan membuat stres. Sebaliknya, paranoid tidak dikatakan sebagai bentuk gangguan bila perilaku tersebut disebabkan oleh kondisi medis.

Dengan kata lain, paranioa atau paranoid merupakan gangguan mental yang  lebih disebabkan oleh tanggapan terhadap pertahanan psikologis, atau mekanisme pertahanan diri yang berlebihan terhadap berbagai stres atau konflik terhadap egonya, dan biasanya sudah terbentuk sejak usia muda. Pengidap gangguan ini akan mencirikan dirinya mudah cemas atau mengalami ketakutan yang berlebihan dan menimbulkan delusi.

Menghubungkan penjelasan tentang Paranoia dengan lemahnya literasi keuangan, akan membawa kita kepada sebuah realitas yang memberikan penjelasan alternatif, mengapa hanya 6%-8% masyarakat kita yang mengetahui tentang provider layanan keuangan digital dan hanya 2,8% yang memahami konsep layanan keuangan digital. 

Ditambah masalah infrastruktur yang terbatas, maka masyarakat kita yang kurang pemahaman bisa saja malah memandang konsep layanan keuangan digital ini sebagai sesuatu yang mencemaskan, tidak masuk akal, atau bahkan malah membahayakan keamanan uang tabungannya. Akibat yang mungkin muncul akibat pemahaman ini adalah, bukannya mau terlibat dalam kampanye transaksi keuangan non tunai yang diklaim akan semakin memudahkan hidup ini, ia malah akan membentengi dirinya dengan mekanisme pertahanan yang berlebihan. 

Tidak saja orang-orang yang sudah tua, orang yang masih muda pun, bila kurang literasi bisa saja lebih memilih menyimpan uangnya di bawah kasur atau di dalam bantal kapuknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline