Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Membaca Kartini, Kaum Terpelajar Harus Bersikap Jujur Sejak dari Pemikiran

Diperbarui: 21 April 2020   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://i.pinimg.com

R.A. Kartini di zamannya mungkin tidak pernah mengimpikan bahwa apa yang dia lakukan dari balik tembok tinggi tebal istana pingitannya, melalui korespondensi dengan para sahabat, kelak akan terdokumentasi sebagai salah satu catatan sejarah mula-mula semangat pergerakan dan kebangkitan nasional. Surat-suratnya berisikan semangat revolusi jiwa, yang tidak kalah dahsyat dari berbagai hal lain yang dapat dikatakan revolusi.

Kembali kepada Kartini, dalam usianya yang ke-12 tahun, ia mulai kehilangan kebebasan karena telah memasuki dunia pingitan. Dia hanya akan kembali bebas ketika dipersunting oleh laki-laki yang menjadi suaminya, atau ketika setelah perkawinan itu dia akan menjanda. Demikianlah kekangan tradisi feodalisme pada masa itu yang dikenal dengan nama "adat". Adat yang membuat bahkan seorang anakpun harus berjalan merangkak apabila hendak bertemu dengan bapaknya, kalau bapaknya adalah dari golongan raja-raja. Tentu saja tidak bisa men-generalisasi semua tradisi sebagai "adat" yang buruk.

Satu-satunya hal yang membuat Kartini tidak merasa sepenuhnya terkekang serasa di dalam penjara adalah karena ia sering mendapat kiriman buku bacaan dari teman-temannya, utamanya orang Eropa, baik yang ada di Hindia Belanda maupun di Nederland sendiri, dan juga koran-koran, terutama yang berbahasa Belanda, karena pada masa itu masih satu dua saja koran berbahasa Melayu atau bahasa Jawa.

Membaca Kartini adalah Membaca Gejolak Revolusi Jiwa

Sejarah Kartini adalah catatan gejolak batin dalam perjuangan menggugat ketertindasan, kemiskinan dan kebodohan. Sebuah kumpulan catatan pergolakan dari masa lampau yang tak kunjung selesai hingga masa kini. Catatan surat-menyurat yang "hanya" sampai menjadi sebuah batu penjuru untuk apa yang saat ini masih dilanjuntukan sebagai revolusi mental. Catatanya adalah embrio yang sedang berkembang mencari bentuk lanjutan.

Catatannya secara bergantian menunjukkan sisi realisme dan idealisme dirinya yang lahir dan hidup pada zaman dimana bangsanya penuh keterbatasan. Sebentar-sebentar ia tampak pasrah pada realitas, namun sebentar-sebentar ia tampak beringas menuntut lahirnya idealisme. Dua sudut pandang yang beroposisi saat dipertentangkan, tetapi sebenarnya saling melengkapi bila dipertautkan, mungkin menjadi "realisme idealis atau idealisme realistis".

Seorang guru besar ilmu politik pernah mengatakan bahwa salah satu kelemahan bangsa ini dalam merumuskan kebijakan untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan adalah saat para aktor penyelenggara negara yang entah karena sengaja atau lalai dalam memandang kembali catatan sejarah, bahwa "apa yang pernah ada tidak cepat hilang". Salah satunya adalah masalah kebangsaan dalam mencapai kesepakatan bersama saat merumuskan dasar negara, yang tetap menyisakan perdebatan dan perselisihan para pihak yang sama-sama merasa didiskriminasi, diperlakukan tidak adil.

Dalam konsep yang sama meski wujud berbeda, kalau dulu (atau sampai sekarang) rasa diskriminasi dalam hal filosofis atau ideologi, sekarang mungkin termanifestasi dalam realitas terukur dalam wujud ketimpangan pembangunan, apakah pembangunan fisik maupun mental.

Tantangan ini menjadikan semangat Kartini menemukan relevansi. Dalam bahasa Pramoedya disebut sebagai relevansi yang licin dan relatif. Ia yang dikenang setiap tanggal 21 April melalui seremoni dekoratif melalui busana kebaya dan sanggul yang merupakan ciri khasnya, mungkin akan merasa tetap diberi beban lanjutan untuk tetap dipikulnya sendiri, apabila seremoni dekoratif tersebut tidak pernah sampai mendorong timbulnya tindakan untuk mengatasi diskriminasi dan usaha pewujudan keadilan.

Karena apa yang pernah ada tidak cepat hilang, maka kita perlu memandang relevansi semangat perjuangan antidiskriminasi Kartini terkait dengan kemajuan teknologi. Pengaruh kemajuan teknologi dalam bidang informasi telah menjadikan dunia sebagai desa global yang mengakibatkan segala berita menyangkut keseharian hidup seseorang dan kejadian yang menimpa mereka yang tinggal di dalamnya menjadi sangat cepat tersiar. Orang-orang telah menjadi warga kosmopolitan, warga negara dunia, global citizen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline