...no body said it was easy...(the Scientist, Coldplay)
Sore itu, di bulan Oktober 2005, para Calon Pegawai Negeri Sipil yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah berumah tangga sedang duduk-duduk bergerombol di susunan kursi-kursi dengan meja-meja yang tersusun sedemikian rupa seperti baru dipakai untuk berdiskusi. Mereka ini adalah para Calon Pegawai Negeri Sipil yang mengikuti pendidikan dan pelatihan pra jabatan, suatu kegiatan yang wajib diikuti oleh para Calon Pegawai Negeri Sipil yang baru lulus seleksi penerimaan sebelum diangkat penuh sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Usia rata-rata para peserta sekitar 30 tahun. Sebagian besarnya adalah guru SD yang diterima sebagai calon PNS untuk ditempatkan di daerah yang terjauh dan terpencil di kabupaten ini.
Sedang asyik mereka bercerita, datanglah Tarno, seorang PNS muda lulusan sekolah kedinasan, yang baru ditempatkan sebagai pegawai magang di unit kerja yang melaksanakan pendidikan dan pelatihan pra jabatan ini.
"Sedang membincangkan soal apa ini Bapak, Ibu?" kata Tarno.
"Bukan hal yang penting pak, hanya saling bertukar sedikit cerita dan pengalaman kami masing-masing sebelum diterima menjadi calon PNS pak" kata pak Saragih.
Pak Saragih adalah seorang Calon PNS golongan II, termasuk golongan rendah. Ia adalah calon guru SD yang akan diangkat untuk mengajar murid-murid SD di sebuah desa yang terpencil di sebuah kecamatan yang cukup jauh dari ibukota kabupaten ini.
Tarno adalah seorang anak dari keluarga menengah bawah. Ayahnya bekerja sebagai guru SMP swasta di ibukota kecamatan, sementara ibunya adalah guru SD negeri di sebuah desa terpencil. Tarno memiliki dua orang saudara, satu laki-laki dan satu perempuan. Tarno yang paling tua, baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi kedinasan pamong praja di Pulau Jawa dan akan segera ditempatkan sebagai PNS di ibukota kabupaten, kampung halamannya sendiri.
Oscar adiknya, masih duduk di bangku kuliah jurusan arsitektur di sebuah universitas negeri di ibukota provinsi, dan Janet sibungsu masih duduk di bangku SMA negeri di ibukota kabupaten. Pengalaman dari hidup yang serba cukup di keluarganya yang sederhana, cukup untuk makan, cukup untuk membayar biaya sekolah, tidaklah terlalu memprihatinkan. Dengan gaji yang pas-pasan dari kedua orang tuanya, dengan tingkat penghasilan dari gaji pegawai pada masa itu, membuat Tarno dan kedua adiknya sangat akrab dengan kisah perjuangan hidup pak Saragih yang sedang dibahas bersama teman-teman diklat-nya di jam istirahat pada sore hari itu.
"Saya sangat bersyukur bisa diterima menjadi calon PNS, walaupun hanya PNS rendahan di sekolah kecil di desa terpencil pak" kata pak Saragih. Sebelum lulus diterima dalam seleksi penerimaan calon PNS pada tahun itu, pak Saragih adalah seorang buruh kasar di perusahaan pengolahan kayu di daerah kabupaten tetangga.
Sehari-harinya pak Saragih bertugas menebang kayu-kayu besar yang sudah cukup umur untuk keperluan industri di beberapa kawasan hutan produksi. Dengan mengenakan sepatu bot, menenteng gergaji mesin, keluar masuk hutan dengan bertelanjang dada, adalah rutinitas yang dijalananinya hampir setiap hari selama 15 tahun terakhir.
Sepenggal kisah pak Saragih ini, terus terngiang di benak Tarno hingga ia kembali ke kamarnya di asrama tempat berlangsungnya diklat itu. Seorang diri, Tarno merenungkan kembali ucapan pak Saragih yang sangat mensyukuri diangkatnya dirinya sebagai calon PNS, calon guru SD di sekolah kecil di sebuah desa terpencil.
Tarno membayangkan apakah ia juga akan mensyukuri pekerjaan yang akan dijalaninya begitu ia ditempatkan di unit kerja, dimanapun itu, segera setelah masa magangnya selesai di lembaga penyelenggara manajemen sumber daya PNS ini. Tidak saja karena ia belum bisa membayangkan apa yang akan dikerjakannya nanti di tempat tugasnya, tetapi jalan hidup yang membuatnya akhirnya memilih sekolah pamong pemerintahan di Pulau Jawa itupun tidak terlepas dari rasa prihatinnya kepada keadaan ekonomi kedua orang tuanya yang hidup pas-pasan.