Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Hidup di Sebuah Negeri Tanpa Kekerasan, Bagai Memimpikan Utopia?

Diperbarui: 24 Maret 2019   04:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi sebuah jembatan yang utopis. (pixabay)

Pada Selasa pagi yang cerah di 14 Maret yang lalu, saya bersama seorang teman memutuskan untuk berkeliling sejenak di sekitar hotel tempat kami menginap untuk tiga malam di kota Manado, Sulawesi Utara. Pagi yang cerah itu sudah cukup menyerupai hari menjelang siang di kampung halaman kami nun jauh di Sumatera Utara.

Perbedaan waktu 1 jam antara kampung kami yang berada pada zona waktu Indonesia bagian barat dengan Manado yang berada pada zona waktu Indonesia bagian tengah, membuat bangun tidur kami pada pagi hari pertama itu terasa bagai bangun pagi kesiangan. 

Barangkali karena biokimia tubuh ini masih menyesuaikan diri dengan kondisi pada satu jam yang lalu di kampung kami sana, di Sumatera. Jam 6 pagi bermandi cahaya mentari di sini, mungkin serupa fajar pagi menyingsing kabut yang masih agak gulita di Kabanjahe sana.

Namanya baru pertama kali, kami berjalan sesuka hati kemana kaki melangkah. Tak terasa jalan yang kami tempuh telah memutar jauh dan membawa kami ke pemukiman penduduk yang sudah sibuk beraktivitas layaknya orang-orang kota di pagi hari. 

Tampak orang-orang tua yang membonceng anak-anak pergi ke sekolah, para pekerja yang berjalan tergesa ke tempat kerja, ibu-ibu yang tampak seperti baru dari pasar berbelanja, ada juga beberapa orang yang berolahraga lari pagi, mereka mungkin para pelancong atau ada urusan pekerjaan selama beberapa hari di kota ini seperti kami.

Kami juga bertemu dengan dua orang polisi yang berdiri di pinggir jalan menjaga lalu lintas pagi, tapi sepertinya tidak terlalu sibuk. Salah seorang polisi itu meminta saya untuk mengambil foto saat dia sedang bertugas, mungkin untuk menjadi semacam bukti pendukung laporan kegiatannya pada hari itu. Polisi yang seorang lagi bermarga Sihombing berpangkat Ajun Komisaris Polisi, begitu saya lihat dari atribut yang melekat di dada dan bahunya.

"Selamat pagi Pak Sihombing, kami ini dari Sumatera," kata teman saya sambil menjulurkan jabatan tangannya.

"Bah, halak hita do sude, ketemu kita di Manado," kalau tidak salah begitulah kata bapak itu. Maknanya kira-kira, kita sama-sama orang Batak ketemu di Manado.

Sejenak kami berbincang, meskipun sedang bertugas mereka terlihat tetap ramah, dan lalu lintaspun memang tampak lancar tanpa gangguan. Bahkan, belum sekalipun kami dengar bunyi klakson kendaraan selama kurang lebih 5 menit kami berbincang-bincang. "Selamat bersenang-senang di sini, beginilah Manado," kata Pak Sihombing sambil tersenyum saat kami permisi melanjutkan perjalanan pagi hari itu.

maybe-utopia-is-terrifying (https://medium.com)

Ya, beginilah satu hari ini pikirku. Soalnya kami juga tidak berada dalam jangka waktu yang lama untuk lebih mengenali seluk beluk kota ini. Kami pun benar-benar makin terperosok ke dalam pemukiman padat penduduk karena memilih lorong yang lebih sempit untuk dimasuki.

Berharap akan kembali menemukan jalan raya, kami terus merangsek masuk karena di kejauhan terdengar deru mobil-mobil yang melaju agak kencang pada pagi yang tidak terlalu bising sebagaimana di Medan, ibu kota provinsi tempat tinggal kami. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline