Mengutip gaya narasi dalam salah satu bagian novel "Atheis" karangan Achdiat K. Mihardja, dengan mengangkat sebuah potongan plot adegan dialog antara Anwar, seorang nihilis yang suka main wanita, dengan Hasan, seorang yang lahir dari keluarga yang sangat taat beragama, dari keluarga penganut Tarekat Naqsyabandiyah, di kampung Panyeredan.
Substansi dari percakapan dan adegan yang tergambar dengan setting cerita pada sebuah kampung yang masyarakatnya masih kolot dalam suasana kolonialisme zaman Jepang, memberi pesan moral bahwa pendidikan dan agama seringkali dipertanyakan kegunaannya, manakala budaya berpikir, logika dan rasionalitas tidak tumbuh dengan seimbang dalam sebuah masyarakat yang lebih didominasi oleh perasaan inferioritas yang tinggi dan mental medioker. Justru yang berkembang adalah kepercayaan kepada hal-hal yang berbau klenik, sikap tunduk kepada mistik dan mitos, mudah saling mencurigai, dijajah, termasuk dijajah oleh pikirannya.
Pada suatu hari, bercakap-cakaplah Anwar dan Hasan (dengan parafrase dan penyesuaian):
Anwar: "Kapan kita main-main ke kampungmu, San?"
Hasan: "Nggak usah, buat apa? Kampungan, Sepi."
Anwar: "Itulah, kehidupan di kota sumpek. Sesekali kita perlu main ke desa."
Hasan: "Baiklah."
Hasan menjawab dengan ragu-ragu. Ia sadar kalau pulang ke kampung, pasti akan disuruh oleh ayahnya sholat lima waktu. Ayahnya seorang yang taat beribadah.
--------Singkat cerita, merekapun tiba di desa--------
Anwar: "Ayo kita main keluar."
Hasan: "Buat apa? Sepi, banyak hantu saat malam-malam kalau di kampung." Jawab Hasan dengan lagak sok pemberani.
Anwar: "Itulah, kita perlu tahu, apa benar ada hantu?"
Hasan: "Sinting kau."
Akhirnya mereka pun jalan-jalan keluar rumah. Tiba di pos ronda, jam menunjukkan pukul 00:00 wib. Mereka mendekati sebuah pos ronda kampung.
Petugas ronda malam itu adalah seorang yang berkumis bapang, menenteng golok di pinggang, ia seorang jawara desa.
Petugas ronda: "Hoi! Siapa di sana?"
Anwar yang sama sekali tidak mengenali siapa yang meneriakinya menjawab dengan santai: "Kau siapa rupanya!?"
Petugas ronda: "Setan kau! Berani kau ya?"
Anwar: "Apa kau bilang? Kanapa rupanya?"
Petugas ronda: "Sini kau, mau kemana kau, bangsat?!"
Anwar: "Mau cari si Jambrong!"
Tadi sebelum pergi keluar rumah, Hasan sudah bercerita kalau di desa ini ada cerita legenda tentang Mbah Jambrong, orang yang sakti mandraguna. Makamnya saja tiga meter panjangnya, makamnya jadi keramat di desa.