Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Sekelumit Cerita Lau Simomo, Kampung Bersejarah dalam Pelayanan Kesehatan bagi Orang-orang Terkucilkan

Diperbarui: 5 November 2018   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gereja GBKP Lau Simomo

Pada suatu hari di tanggal 18 Juni 2017, saya menemani bapak mengikuti ibadah kebaktian minggu di gereja GBKP Lau Simomo. Pertama kali mengikuti kebaktian di gereja ini, saat masuk ke dalamnya serasa sedang beribadah di sebuah gereja di Walnut Groove, di tengah padang rumput seperti di film Little House on the Prairie tetapi dengan pengantar Bahasa Karo.

Sekilas sejarah pemukiman Lau Simomo sebagaimana disampaikan pengkhotbah dalam ibadah, bahwa permukiman penderita kusta di Desa Lau Simomo diprakarsai oleh Pendeta E.J. Van den Berg, seorang misionaris Belanda yang tergabung dalam NZG (Nederlandsche Zendeling Genootschap), sebuah lembaga pekabaran injil dari Belanda dengan tugas utama memberikan pelayanan kerohanian.

Semula para penderita kusta dirawat dan menginap di rumah Pendeta E.J. Van den Berg di Kabanjahe menggunakan sebagian fasilitas kamarnya untuk menampung sementara para penderita. 

Selain sebagai tempat penampungan, rumah tersebut juga dilengkapi dengan apotek. Akibat dari banyaknya pasien yang datang ke tempat tersebut maka kamar yang tersedia tidak dapat lagi menampung pasien, sehingga pendeta E.J. Van den Berg mengusulkan pendirian permukiman baru di suatu tempat tidak jauh dari tempat semula yang kemudian disebut Desa Lau Simomo.

Usulan pendeta E.J. Van den Berg itu tidak disetujui oleh Asisten Residen Tapanuli, Western Berg. Menurut Asisten Residen permukiman para penderita kusta sebaiknya dibangun di daerah Huta Salem di Laguboti, Tapanuli karena sebelumnya di sana pada tanggal 5 September 1900 telah dibangun permukiman oleh Rheinsche Zending, sehingga sangat memudahkan pelayanan kerohanian maupun kesehatan. 

Namun pendeta E.J. Van den Berg menentang pendapat tersebut karena lokasinya jauh dan bukan di Tanah Karo dan menurutnya itu sebagai bentuk pengasingan.

Seandainya lokasi permukiman yang baru itu jadi ditempatkan di lokasi yang jauh itu, barangkali ungkapan perasaan para penderita kusta yang merasa terkucil itu mungkin kurang lebih terwakili oleh pesan syair lagu Karo tempo dulu "Simulih Karaben" berikut ini:

nde aku kuja mulih ku gundari

ija ndia inganku ngadi-ngadi

latih kel bage suari ras berngi

denden rukur picet ari

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline