Pada sebuah kesempatan saat menjemput bapak di terminal kedatangan bandara Kuala Namu, Deli Serdang, saya duduk di bangku ruang tunggu di sudut terminal yang berdekatan dengan pool salah satu taxi konvensional yang melayani antar jemput penumpang dari dan ke bandara.
Sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya, beberapa supir taxi konvensional tersebut terlibat dalam pembicaraan serius dan sengit.
Rupanya mereka sedang merencanakan unjuk rasa ke pimpinan perusahaan tempat mereka bekerja dan diteruskan ke pihak pengelola bandara, terkait dengan keluhan mereka atas menjamurnya layanan taxi gelap dan taxi on line yang secara signifikan sangat mengurangi pendapatan mereka yang bertahan dengan konsep konvensional.
Kata salah seorang di antara mereka : "jelas-jelas taxi gelap dan on line itu tidak memberikan kontribusi apa-apa ke pihak pengelola bandara, sedangkan kita jelas-jelas membayar "cukai" sehingga bisa beroperasi dengan resmi di bandara ini, tetapi justru kita yang tidak kebagian penumpang."
Di sela-sela perbincangan para supir datanglah calon penumpang yang ingin memesan jasa layanan taxi mereka, namun anehnya para supir saling melempar tanggung jawab kepada temannya supir yang lain untuk mengantarkan sang calon penumpang ke tujuannya.
Sangat aneh, karena mereka mengeluhkan tidak ada calon penumpang yang mau memakai jasanya tetapi justru saat ada yang mau memesan mereka justru saling berdalih untuk menolak mengantar penumpang. Alasannya manajemen tidak fair, karena menugaskan supir tidak pada jadwal shift kerjanya, sementara yang bertanggung jawab pada shiftnya menghilang entah kemana.
Setidaknya, selama setengah jam saya duduk di sana ada empat calon penumpang yang akhirnya membatalkan pemesanannya dengan menggerutu karena merasa diabaikan oleh para supir taxi dan manajemennya.
Melihat realita tersebut, ada satu nilai yang terkonfirmasi benar adanya dan berlaku sama di organisasi manapun, baik di korporasi swasta maupun organisasi birokrasi di pemerintahan.
Mengutip tulisan Rhenald Kasali, Ph. D, seorang akademisi sekaligus ekonom yang juga pakar manajemen yang mengutip pendapat Deal & Kennedy bahwa ada tujuh budaya negatif yang mengontaminasi organisasi pada masa transisi. Ketujuh nilai tersebut dapat menghapuskan atau mengurangi karakter positif pengikat sebuah institusi, seperti nilai-nilai komitmen, kebersamaan, dan loyalitas.
Satu diantara ketujuh nilai negatif tersebut menurut Deal & Kennedy adalah budaya mengedepankan kepentingan kelompok. Ini adalah nilai laten yang dapat muncul saat organisasi pada masa transisi, antara lain disebabkan karena kita tengah berada di sebuah empasan gelombang besar yang memutuskan mata rantai ekonomi lama dengan sebuah mata rantai ekonomi baru yang benar-benar berbeda.
Era ekonomi lama (era industri) yang ditandai dengan cara kerja birokratik, stabil, hierarkis, integratif, berskala ekonomis, berbasiskan regulasi dan monopoli sesungguhnya telah berakhir. Kita tengah berada di era baru yang disebut era informasi atau era digital.
Segala sesuatu yang tadinya bergerak secara linear dan beruntun, berubah menjadi sirkular dan bergerak serentak. Informasi yang tadinya bersifat simetris menjadi transparan dan demokratis. Akibatnya, cara berusaha berubah menjadi lebih kompetitif, ramping, demokratis, independen, dan menuntut lebih banyak pendekatan kewirausahaan.