Setiap hari kita dipasok informasi yang berlimpah tentang virus corona, area terdampak, jumlah pasien positif, bahkan nama-nama korban keganasan covid-19 di media. Informasi pun ada yang berasal dari pemerintah dan lembaga atau pihak lain.
Ruang medsos kita setiap detik sarat dengan berita-berita resmi dan dapat dipertanggungjawabkan maupun berita yang hanya hoaks. Kedua kutup itu berebut tempat di otak dan hati masyarakat. Ada yang malah bingung, ada yang mengangguk tanda mengerti atau ada yang mengernyitkan dahi simbol ketidakpahaman, ada pula yang menggeleng-gelengkan kepala yang lekat dengan ketidaksepakatan.
Mana yang benar dan mana yang keliru? Di tengah pergulatan virus yang begitu cepat menyebar, informasi yang benar dan menenangkan memang mesti hadir jauh lebih cepat bahkan melampaui jejak virus mematikan itu.
Jika dalam sehari sejak pagi hingga sore atau malam kita memelototi berita-berita di layar kaca atau medsos yang mengungkap mereka yang terjalar positif corona dan jatuhnya para korban corona, bisa-bisa kita tambah panik dan tegang.
Di negeri ini apa-apa bisa jadi geguritan. Dalam KBBI, geguritan adalah puisi tradisional dalam bahasa bali atau jawa. Geguritan berasal dari kata dasar gurit. Geguritan itu bukan sekadar sajak, tapi memandang suatu persoalan secara berbeda. Sesuatu yang kita anggap biasa bisa jadi menarik dari kacamata geguritan. Masalah lokal sampai dengan problema nasional bahkan dunia, seperti wabah virus covid-19 atau corona sekarang ini bisa dikonstruksi menjadi sebuah geguritan.
Wikipedia pernah melansir, geguritan atau dalam hal ini puisi Jawa modern mulai muncul pada tahun 1929 di majalah Kejawen dengan terbitnya tiga buah judul geguritan. Pada tahun 1930-1940, terbit tujuh buah karya lainnya.
Di era serba digital saat ini, geguritan telah menjadi bagian dari cara berkomunikasi kalangan tertentu, mungkin termasuk milenial juga. Bahkan lebih dari sekedar cara berkomunikasi, geguritan juga mampu memberikan pengaruh yang sangat besar.
Pada umumnya geguritan yang ada di internet bertujuan sebagai media untuk menyampaikan pesan tertentu. Geguritan, muncul sebagai salah satu ciri khas yang paling menonjol dan dipakai oleh netizen dari Jawa dan Bali. Jadi bisa dibilang, geguritan ini menjadi semacam format bahasa universal lintas dunia digital kalangan tertentu pula (orangtua, guru, mahasiswa maupun kelompok yang peduli dengan sastra jawa, dll).
Diksi yang dipilih biasanya berasal dari sesuatu bermakna dalam sebagai konten yang ingin diusung di dalamnya. Bisa saja geguritan tak selalu serius, tapi bisa juga mbayol, menyindiri, mengcounter satu soalan, misalnya. Bisa pula pada geguritan tersebut ditambahkan gambar atau photo bahkan video yang relevan dengan ekspresi atau pesan yang ada pada geguritan.
Keliaran, barangkali ada juga konten kelucuan yang dibawa dapat menggambarkan situasi atau isu terkini yang sedang menjadi perbincangan publik. Membaca covid-19, acap menerbitkan ketidaknyamanan, kepanikan, ketakutan, atau diselipi cara atau tips melawan pandemi. Dalam pergerakan demikian, negara hadir menenangkan rakyat, dan geguritan juga menjelma menjadi saluran pelepas ketegangan (katarsis).
Atas budi baik geguritan, kita bisa bersenyum-senyum ketawa ketiwi sendiri melihat gambar, foto atau video maupun teks di dalamnya. Atau kita juga dibuat terpingkal-pingkal dengan kebodohan dari deretan aksara geguritan. Geguritan, seakan bisa membaca atau menertawakan nasib kita sendiri.