Lihat ke Halaman Asli

Marjono Eswe

Tukang Ketik Biasa

Ibu, Maafkan Aku

Diperbarui: 7 Agustus 2020   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

(Dorothty Law Nolte)

Sudah berapa jumlah anak yang terlibat narkoba, berapa banyak anak yang terjebak kriminal, berapa anak yang melakukan tindak kekerasan, berapa puluh anak yang tega memolisikan orangtua, berapa rekap anak yang membunuh ibunya, gurunya dan berapa lagi jumlah anak durhaka di zaman now. Penulis ngelus dada, sudah tak terhitung lagi, rasanya.

Sejumput pertanyaan itu serasa mencecar uluhati kita sebagai orangtua atau yang dituakan. Lalu pertanyaannya kemudian adalah mengapa anak-anak tersebut demikian keji dan di luar nalar publik. Kita merasa ditelikung.

Ada setumpuk hal yang menjulurkan mereka berperilaku sedemikian buruk. Anak-anak bengal tersebut rasanya tak fair jika harus diadili sendirian, tapi bolehlah kita mengurai akar soalan yang membawa mereka sampai melakukan tindakan di luar kewajaran, di luar batas naluri dan nalar anak.

Barangkali jika mau berintrospeksi, faktor bahasa turut menjadi penopang mengapa anak-anak jadi sedemikian bengis. Bahasa orangtua di rumah maupun guru di sekolah secara tak langsung turut berproses mengganjal anak-anak dalam bersosial. 

Bahasa yang membentak, suara yang keras dan kasar, ekpresi yang acuh juga bahasa-bahasa yang merendahkan potensi dan harga diri anak pun tak bisa dipungkiri menjadi bagian pemicu banalnya anak-anak.

Pada aras di bangku sekolah, jika lingkungan belajarnya, tepatnya sang guru tak punya kreasi dan inovasi dalam mengelola kelas, bukan mustahil sang guru bakal disepelekan anak-anak. 

Rutinitas, gaya regular dan bukan out of the box menjadi alasan kuat ketika anak-anak menggugat pendidikannya dengan cara-cara kontra produktif, misalnya tidur, malas-malasan di kelas, tak memperhatikan guru, mengabaikan nasihat guru dan ketika hanya monoton tanpa hadirnya suasana yang menggembirakan, lagi-lagi jangan harap anak-anak akan senada dengan harapan para guru maupun pihak sekolah apalagi orangtua.

Perilaku guru di sekolah menjadi pusat pijakan anak-anak, di dalam dan di luar sekolah. Jika guru suka melecehkan anak-anak di hadapan teman-temannya, maka tak menutup kemungkinan guru juga bakal menerima hal sama di forum terbuka yang diinisiasi oleh anak-anak, mungkin spontanitas juga.

Di sinilah pentingnya integritas pendidik, terdapat keutuhan atau kesatuan ucapan, pikiran dan tindakan. Trilogi itu selalu dipegang betul oleh anak-anak sebagai pemandu dalam saat-saat terdapat upaya-upaya melemahkan eksistensi diri anak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline