Jika tak ada perubahan, pemililihan kepela daerah (Pilkada) serentak bakal digelar 9 Desember 2020.
Kita membayangkan pilkada menjadi sebagian penanda keriangan demokrasi di negeri ini, dengan munculnya debutan para calon maupun petahana yang bersaing berebut mood masyarakat untuk memenangkan hati rakyat.
Namun, bayangan di atas kerap sirna kala beberapa daerah berikut banyaknya partai politik (parpol) justru hanya mampu menerbitkan calon tunggal. Artinya, calon tunggal nanti akan berhadapan dengan sebuah benda mati yang bernama kotak kosong.
Potensi daerah yang akan melawan kotak kosong sudah tercium dan Nampak, seperti Grobogan, Kota Semarang, Boyolali, Sragen, Wonogiri, Rembang, (Mungkin Kota Solo), dari 21 Kabupaten/Kota yang menghelat pilkada serentak. Di luar Jateng pun mengemuka, misalnya di Kediri, Serang, Banyuwangi, dll.
Ketentuan kotak kosong diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Kemudian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2016 mengatur pilkada calon tunggal dalam Pasal 11A, mengatur surat suara pada pemilihan satu pasangan calon memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto dan nama pasangan calon dan kolom kosong yang tidak bergambar atau kotak kosong.
Kotak kosong pernah menang dalam Pilkada untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, terjadi di Pilwalkot Makassar pada tahun 2018.
Saat itu, calon tunggal terjadi karena salah satu pasangan calon, yaitu Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari dicoret oleh MA, sehingga menyisakan pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi.
Meski calon tunggal, ternyata pasangan Appi-Cicu harus berjuang keras lantaran suara memenangkan kotak kosong bergulir di masyarakat. Hasilnya, ternyata kotak kosong menang dengan 300.969 suara melawan 264.071 suara.
Fenomena belakangan calon tunggal atau potensi harus bergumul melawan kotak kosong dipicu beberapa hal, seperti masih adanya tingginya mahar dari parpol pengusung. Diakui atau tidak, La Nyala (kini Ketua DPD-RI) pernah bernyanyi soal satu ini.
Lagi-lagi, terbitnya calon tunggal hanya akan menunjukkan lemahnya mesin partai sehingga pendidikan politik buat kader tak berjalan secara baik. Ini yang harus menjadi bahan evaluasi parpol secara intens dan berkelanjutan. Jika tidak, justru akan mempercepat matinya parpol.