Satu masa, peran suami yang menjadi pemimpin rumah tangga dan mencari nafkah, beralih fungsi dengan berperan sebagai layaknya ibu rumah tangga. Karena istrinya yang kerja mencari uang. Jadi semua peran ibu diambil oleh suami. Nah suami mengambil peran ganda sebagai ibu dan bapak.
Pemandangan itu tak hanya dijumpai dalam situasi komedi dunia terbalik di layar televisi, tapi juga terjadi di kalangan warga, seperti fenomena Pamong Praja (Papa Momong Perempuan Bekerja) di Purbalingga. Pamong Praja adalah sebutan bagi fenomena lelaki sibuk mengurus rumah tangga dan istri sibuk mencari nafkah.
Mereka adalah para laki-laki (suami) yang harus mendidik anak serta mengurus urusan rumah tangga yang biasanya menjadi urusan para wanita (ibu). Sementara istrinya harus menafkahi keluarga dengan bekerja di luar negeri.
Pembalikan peran suami harus memainkan peran sebagai isteri atau ibu, lebih dipicu keterdesakan ekonomi. Pada umumnya rumah tangga demikian penghasilannya rendah, sehingga untuk menutupi kebutuhan keluarga acap melakukan gali lubang tutup lubang, merepoti orangtua maupun mertua, saudara bahkan kawan pun tetangga.
Rata-rata pasangan hidup demikian tak punya keterampilan hidup yang memadai untuk bersaing dalam dunia kerja, baik pihak suami maupun isteri. Kadang mereka kerja serabutan, dan lebih banyak menunggu order atau jika ada warga yang minta bantuan tenaganya, dan biasanya mereka pun tak dibayar tinggi bahkan gratisan, sembari berucap maturnuwun.
Jika sudah demikan parah, lalu salah satu pihak, biasanya inisiasi datang dari suami minta izin ke isteri untuk merantau ke kota meski tanpa skill yang bisa diandalkan, toh suami ini kalaupun bekerja di kota juga dengan upah rendah, karena tak sedikit mereka yang hanya beradu otot alias mengandalkan tenaganya untuk mengais rejeki kota. Para suami ini bekerja di kota pendapatannya tak lebih dari apa yang ia dapatkan di desanya.
Mungkin dalam pikiran sang suami ini, bekerja dengan bayaran sedikit tak masalah asal tak kelihatan menganggur di rumah dan malu dengan mertua. Hal itu ada yang memaklumi, tapi tak jarang pula kala suami pulang dengan gaji atau uang yang dibawa hanya cumpen, mepet bahkan saat akan kembali ke kota mereka malah minta uang saku atau bekal transpor pada para isteri maupun sempat harus berhutang dulu kepada elit desa.
Situasi dan proses waktu tuntutan kebutuhan hidup keluarga semakin meningkat, di samping gaya hidup juga soal gengi, maka suka tidak suka pihak isteri yang biasa berperan sebagai ibu rumah tangga, justru cancut taliwondo untuk menjawab tantangan hidup yang semakin terjal.
Para isteri/ibu ini mengambil alih peran suami sebagai pencari nafkah dan menyerahkan segala tetek bengek soal keluarga atau anak-anak ke tangan suami, tentu terlebih dulu seizin suami masing-masing. Kondisi ini lagi-lagi dilatari soal ekonomi yang terus dirasa sulit, di sini para isteri berharap dengan ia bekerja pasti ekonomi keluarga akan membaik dan bisa mengejar ketertinggalan dengan warga lain.
Para isteri ini ada yang bekerja hanya sebagai tenaga kasar, sekadar membantu bersih-bersih, memasak, buruh menyeterika pakaian tetangga, tapi yang merasa tidak puas dengan hasil pun tarif di pedesaan, banyak dari para isteri/ibu-ibu ini yang nekat mengambil keputusan untuk hijrah ke kota atau bahkan sebagai tenaga kerja wanita di luar negeri.
Keputusan seperti ini juga tak jarang dilatarbelakangi soal utang yang terus menumpuk, sementara cadangan dana atau penghasilan yang dijagakke (diandalkan) tak bisa konstan (ajeg), padahal setiap hari kebutuhan meningkat, baik kebutuhan sehari-hari, kebutuhan emosional termasuk hiburan dan biasanya lari pada keinginan memiliki atas barang-barang elektronik dan sepeda motor.