Lihat ke Halaman Asli

Marjono Eswe

Tukang Ketik Biasa

Merawat Generasi Petani

Diperbarui: 1 Juli 2020   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Tengah, pada medio Mei 2020 sebesar 101,11 atau  naik 0,60 persen dibanding NTP bulan sebelumnya sebesar 100,51. Potret Petani di Jawa Tengah, digambarkan dengan 90% petani atau 1,383 juta petani yang memiliki lahan rata-rata 0,25 Ha.

Pendapatannya yang tergolong masih rendah dan ketidakpastian usaha yang dirasakan, berdampak pada masalah keuangan dalam keluarganya, seperti saat gagal panen, maka masalah keuangan yang dihadapi petani pun akan semakin bertambah.

Padahal, berbagai program pembiayaan pertanian terus diberikan oleh pemerintah maupun lembaga keuangan di Indonesia namun kurang diikuti dengan upaya meningkatkan tingkat pemahaman masyarakat sasarannya.

Petani terus didorong lebih kreatif meningkatkan nilai jual produk pertaniannya. Salah satunya dengan mengolah produk agar memiliki harga jual tinggi di pasaran. Ketahanan pangan provinsi ini cukup baik, dan sebagai salah satu penyangga pangan nasional.

Taka da salahnya jika produktivitas pangan tersebut kita arahkan adanya korporasi petani, merupakan kesatuan petani yang memiliki produk unggulan sejenis yang nantinya dikumpulkan dalam jumlah besar dan dikirim ke daerah lain.

Berkonsep entrepreneurship atau kewirausahaan dan berada di setiap kabupaten/ kota. Petani diarahkan untuk tidak berkutat pada on farm saja, namun bisa melakukan pengolahan hingga pemasaran (off farm). Sehingga produk pertanian yang mereka hasilkan tidak semurah yang sekarang dan mereka bisa meningkatkan taraf hidupnya.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 yang salah satunya berbasis strata wilayah menunjukkan, indeks literasi keuangan di perkotaan mencapai 41,41 persen, dan inklusi keuangan masyarakat perkotaan sebesar 83,60 persen. Sementara indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat perdesaan ada di angka 34,53 persen dan 68,49 persen.

Dari hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan cenderung memiliki kesadaran yang lebih rendah terhadap produk dan layanan jasa keuangan formal.

Padahal, bergulirnya Revolusi Industri 4.0 menghadapkan pembangunan pertanian pada tantangan yang revolusioner. Di era ini, teknologi telah menjadi sebuah keniscayaan dan merupakan hal yang mempermudah seluruh aspek kehidupan manusia.

Perkembangan inovasi teknologi telah melesat lebih jauh, seperti Artificial Intelligence, Internet of Things, nanotechnology, dan 3D printing yang membawa manusia kepada teknologi yang termutakhirkan. Dalam perjalanannya, revolusi ini diperkirakan akan lebih mempergunakan mesin canggih sebagai tulang punggung produksi termasuk bergulirnya e-commerce sebagai aktivitas sehari-harinya.

Dengan masifnya perkembangan e-commerce saat ini telah dimanfaatkan masyarakat pada berbagai sektor, tak terkecuali sektor agraria dan secara spesifik di bidang pertanian. Menurut BPS (2020), tingkat pengangguran di desa pada angka 3,55 persen atau naik dari sebelumnya, yakni 3,45  persen. Kenaikan tingkat pengangguran di desa meningkat lantaran jumlah pekerja sektor pertanian yang juga menyusut sebesar 0,42 persen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline