Bagi kaum muda yang giat belajar acap dilabeli kutu buku atau suka menghirup debu buku, sebaliknya bagi mereka yang suka turun ke tengah masyarakat, merasakan dan mengalami problema juga kesulitan masyarakat, mereka apa dijuluki suka menghirup debu masyarakat.
Apa hanya menghirup debu buku, salah. Tidak. Apakah menghirup debu masyarakat, keliru. Tidak juga. Memang, dengan membaca kita tahu dunia atau bahkan sebaliknya dengan menulis dunia tahu kita. Tapi kemudian jangan pernah lupa bahwa persoalan di negeri ini tak melulu ditawarkan lewat buku.
Kita punya Soekarno. Hatta, Moh Yamin, dll pada masa merebut kemerdekaan ia terpelajar dekat dengan buku bahkan di penjara pun memproduksi buku, tapi pejuang-pejuang itu tak menutup mata atas permasalahan bangsa yang melilitnya. Mereka berjuang habis-habisan untuk tujuan besar Indonesia.
Pada masa sekarang, kita juga punya mahasiswa yang bergiat mendampingi masyarakat miskin, UMKM, kaum muda terdampak narkoba, menjadi relawan HIV/AIDS, anak-anak jalanan, melakukan riset mengatasi soalan energi, pangan, lingkungan dan ekonomi lain. Mereka ini sadar betul bahwa itu bagian dari problema bangsa dan ia harus terlibat dalam penyelesaian case tersebut.
Kaum muda seperti inilah yang tak hanya berpijak pada satu kaki, tapi berdiri tegak mengakar di dua bahkan tiga kaki sekaligus. bertanggungjawab atas sukses studi dengan prestasi bagus, tapi juga tidak menafikan masalah yang dihadapi di depan mata, di lingkungan sosialnya. Mereka berhasil mengawinkan debu buku dan debu masyarakat dalam satu bejana yang bernama kepekaan, kesadaran dan panggilan bahkan mungkin banyak yang menyebut "jalan sunyi." Salah satu tugas terdekat adalalah mahasiswa terjun menjadi relawan pandemi covid-19.
Indonesia tak cuma besar atas wilayah dan penduduknya, tapi juga besar atas permasalahannya. Di luar sana, masih banyak PR bangsa yang menunggu kontribusi mahasiswa. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, pendidikan, kesehatan, pangan dan energi, narkoba, radikalisme, terorisme, intoleransi, dan lain-lain harus kita selesaikan bersama secara keroyokan.
Pada aras lain, kita prihatin kalau saat ini kita menghadapi pudarnya identitas kebangsaan. Dunia yang hampir tanpa batas ini telah menggerus identitas-identitas kebangsaan kita. Gotong royong telah tergantikan dengan sikap-sikap individualistik. Tepo-seliro, kok dadi pengin menang-menangan dhewe. Saling menghormati menjadi seakan tak relevan dan ketingggalan jaman, dan masih banyak krisis identitas kita lainnya.
Sebagai generasi milineal tentu mahasiswa sudah sangat akrab dengan media sosial maupun digital. Sebuah lompatan teknologi yang kemudian membantu memudahkan kerja, memperkuat per-temanan dan bahkan mampu mendukung kema-juan pembangunan di berbagai sektor. Tapi kemudian sayangnya, disitu juga menjadi ruang saling fitnah, menyampaikan ujaran kebencian, hoaks dll, yang kemudian bisa memecah belah kerukunan dan persatuan bangsa, serta tegaknya NKRI.
Betul bahwa bangsa ini berjuang untuk menjadi bangsa yang maju. Benar sekali, kita fight untuk dapat mengejar ketertinggalan dan sejajar dengan bangsa besar lainnya. Tetapi untuk menuju berkemajuan dalam segala bidang, kita jangan sampai kehilangan kebudayaan yang dimiliki. Mari kita ruwat dan rawat tradisi dan budaya dengan sepenuh hati untuk tegaknya NKRI. jangan sampai kita gadaikan daulat politik,
Mahasiswa hari ini harus menjadi motor penggerak untuk memperkuat nasionalisme dan patriotisme dengan aksi dan karya nyata. Jangan biarkan bangsa ini tidak beranjak berubah kearah yang lebih baik. Berbuatlah terbaik untuk negeri ini, dan jangan hanya diam saja. Sekecil apapun yang bisa kita berikan untuk ibu pertiwi akan lebih berarti daripada hanya berpangku tangan dan berdiam diri saja.
Kita punya barisan muda (mahasiswa, pemuda, tenaga medis muda, dll) yang berjuang menjadi garda terdepan membebaskan bangsa dari ancaman covid-19. Kita bangga atas semangat juang dan prestasi mereka. Semangat yang kita harapkan dapat memotivasi dan menginspirasi seluruh masyarakat untuk bangga dan cinta pada tanah air Indonesia.