Judul di atas bukan menyoal nomor buntut, cap ji ki atau togel ala hongkong, Singapore atau undian lainnya, tapi angka-angka yang menenteramkan dan relevan dengan musim belakangan ini. Kemiskinan bagai kisah yang tak pernah usai. Sepanjang ruas Daendels pun tak akan mampu menampungnya.
Apalagi ditambah pandemi corona ini. Ia sebuah keadaan yang tidak pernah diimpikan oleh siapa pun. Malangnya, potret buram seperti itu banyak dijumpai pada masyarakat kecil, kaum papa baik di pelosok desa maupun di kolong kota. Sesungguhnya, mereka pun juga punya mimpi seperti masyarakat lainnya.
Mereka tidak muluk-muluk dalam hidupnya, mereka hanya ingin hidup sehat dan mempunyai uang. Soal perut adalah soal hari ini. Masyarakat kecil, yang sebagian menjadi sasaran bantuan langsung tunai "BLT" tidak terlampau mengurus soal seminar, kajian, iklan layanan masyarakat dan provokasi produktif lainnya. Pertanyannya kemudian adalah apa yang telah kita perbuat dan lakukan bagi saudara kita yang miskin terdampak pandemi corona?
Langkah pemerintah yang meluncurkan BLT bagi masyarakat miskin, tidak ada yang salah. Barangkali cuma perlu disempurnakan soal pendataan, distribusi dan pengawasan atau kontrol di lapangan. Masyarakat miskin sendiri tak ribut soal BLT, mereka rela berlelah-lelah, berkeringat dengan sabar antre menjemput giliran pembagian baantuan.
Angka Rp600 ribu per bulan menjadi angka berharga dalam kesulitan pandemi ini. Tak ada yang aneh, dengan BLT dan pemerintah. BLT dalam masa pandemi ini masih cukup dibutuhkan, utamanya masyarakat kecil untuk menopang obahnya janggut dan urusan perut.
Berkoneksi dengan jenis bantuan lainnya, baik hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan pun kemungkinan akan lebih baik jika ada alokasi bantuan khusus untuk ekonomi produktif maupun idustri kreatif. Jika tidak, kapan mereka belajar berkreasi, inovasi bahkan hingga menciptakan nilai pasar sendiri.
Nampaknya harus dipahamkan kepada seluruh masyarakat, baik masyarakat miskin, eksekutif dan legislatif. Karena di stasiun media atau di hotel berbintang pun banyak orang-orang menangguk berkah dari segala bentuk intervensi terhadap kaum miskin ini.
Begitu sebaliknya, dengan kemurungan akibat pandemi ini sesungguhnya mampu menjadi pelecut bagi pemerolehan berkah tersembunyi (blessing disguise), sehingga mereka mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya membangun harapan dan masa depan dari jerih payah, kerja keras atau dengan bahasanya Soekarno, mereka harus berdikari : berdiri di atas kaki sendiri.
Sekali lagi, barangkali BLT dengan segala kelebihan dan kekurangannya hanya adhoc dan harus dipahami bahwa seluruh bantuan itu hanya temporari, bukan jangka panjang dan permanen. Problematik BLT acap membawa pemerintah selalu di pihak yang susah, di kasih disalah-salahkan, nggak dikasih lebih salah.
Suka tidak suka BLT itu hanya salah satu obat yang akan menyembuhkan derita saudara kita yang miskin atau terdampak covid-19 sekarang ini. Ia bukan mantra sakti yang bakal mampu melepas dan menghilangkan ketidakberdayaan kaum kecil akibat corona. Mereka yang bersikeras, jika BLT itu mesti permanen dan selamanya, justru dikhawatirkan ia tidak memahami konsep kemandirian itu. Segala kebijakan pemerintah selalu menuai pro kontra dan semua wajib dipahami dalam kerangka mengedukasi masyarakat membantu meringankan beban mereka secara riil.
Jika tidak sepakat dengan BLT, sah-sah saja kelompok yang acap mengklaim peduli dan berjuang demi rakyat, bergerak dengan sikap dan tindakan positif, misalnya membuka dompet-dompet peduli, koin untuk si miskin atau para anggota Dewan, ASN, Bupati/Walikota, Camat dan Kepala Desa dan perangkatnya atau pejabat yang terhormat beramai-ramai secara ikhlas menyisihkan sebagian gajinya untuk mendampingi luncuran BLT.