Jauh sebelum agresi virus covid-19 atau corona, pandemi atau wabah juga pernah menyergap masyarakat, seperti wabah bubonic (hitam), Pes, Cacar, Campak, dan Kolera. Tak sedikit pejuang yang berperang melawan wabah penyakit yang telah merenggut nyawa manusia.
Kita mengenal sosok Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang mempimpin pasukan untuk menyerang markas VOC di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1628. Pasukan Mataram mengalami kekalahan karena kekurangan perbekalan. Namun pasukannya berhasil mengotori sungai Ciliwung yang membuat sungai itu menjadi tercemar dan mengakibatkan Gubernur Jendral VOC, JP Coen meninggal dunia karena wabah kolera dari sungai tersebut (pikiran-rakyat.com, 23/8/2018).
Tak asing juga, saat Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, Makassar berperang melawan tentara VOC, sekira tahun 1668 berjangkit epidemi sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi. Sekitar tiga ratus orang lebih pasukan VOC dan kira-kira dua ribu atau separuh dari [sekutunya] pasukan Bugis terserang penyakit panas dan meninggal (historia.id, diakses, 8/4/2020).
Pahlawan nasional dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, kita mengenal sebagai pahlawan kesehatan karena berani memasuki daerah wabah untuk menangani pasien di saat banyak dokter yang menghindar.
Dalam buku Ki Hajar Dewantara Dkk, karya HAH Harahap dan BS Dewantara disebutkan, dokter Tjipto memperkenalkan pengobatan dengan penyuntikan (injeksi) dan menetapkan tarif mahal kepada pasien kaya, tetapi menggratiskan pengobatan bagi rakyat miskin (kompas.com, 22/3/2020).
Tentu saja, masih banyak para pejuang kita yang berjibaku melawan wabah atau pandemi. Ada profesi dokter, perawat, dan tenaga medis bahkan pejuang dari kalangan masyarakat sipil lain dengan berbagai ramuan tradisional bergerak memundurkan wabah-wabah yang mematikan itu. Mereka bekerja untuk menyelamatkan seluruh masyarakat dan negeri ini.
Untuk itu, saat negeri ini terpapar virus corona, ada baiknya kita memperbaiki mutu spirit dan ruh kebangsaan kita, saling membahu dengan segenap daya upaya mengusir koloni corona. Hal ini menjadi bagian cara kita merawat negara, membela negara. Prinsip ini mesti dipupuk dan harus beranakpinak bahkan sejak anak-anak.
Namun, dengan metode atau cara yang mudah dipahami oleh mereka sesuai dengan tahapan usia. Jadi, kesadaran bela negara itu penting untuk ditanamkan kepada seluruh warga, sebagai bentuk revolusi mental sekaligus untuk membangun daya tangkal bangsa dalam menghadapi kompleksitas efek domino dari corona saat ini. Tantangan kita hari ini selain meringkus virus corona, juga kita tabuh genderang perang melawan korupsi, gratifikasi, pungli, narkoba dan kekerasan, dan sebagainya.
Kini, kala seluruh elemen bangsa berjuang menepis corona, kita tak boleh lengah. Potensi terjadinya konflik dan kerawanan sosial itu ada. Hal itu yang harus bisa kita waspadai dan antisipasi dengan baik. Di tengah keprihatinan akibat corona, kita juga ngelus dada dengan adanya pencurian masker, handsanitizer, APD, dll.
Kita perlu upaya-upaya deteksi dini terhadap upaya penyimpangan bantuan bencana. Tentu bela negara dalam konteks ini adalah tidak melakukan korupsi pada saat bencana. Untuk itu, pendataan menjadi penting untuk memastikan sasaran calon penerima bantuan. Sudah sepantasnya kita menjadi supporter bukan spoiler pemerintah mengatasi problematik nasional virus corona ini, dengan menciptakan menciptakan lapangan kerja dan berani mencoba berwirausaha karena belakangan tak sedikit masyarakat yang terpukul dengan PHK. Apalagi saat pandemi ini, anggaran pemerintah lebih banyak dikonsentrasikan untuk penanganan corona.
Corona masih saja berkeliaran, paska lebaran dan persiapan new normal sekolah, kampus, pariwisata, dunia bisnis, dll, nampaknya penting ditingkatkan betul ikhtiar kita dalam menegakkan social distancing dan physical distancing dengan tetap berkiblat pada protokol kesehatan. Tindakan ini merupakan upaya kita memaknai bela negara.