Lihat ke Halaman Asli

Widhyanto Muttaqien

Pemilik Kedai Sinau Jakarta

Have You Ever Seen The Rain?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

the cognition of the cities is linked to the deciphering of the dreamslike outlines of their images (Sigfried Kraucauer)

Hujan di Jakarta. Kota seperti terapung. Orang-orang yang saling bergegas seperti biasa saling jegal di jalan. Kita butuh Gubernur baru, mungkin Gubernur Jenderal seperti masa kolonial (bisa dilakukan dengan naturalisasi seperti pemain bola kita, dimana menggunakan kaos garuda di dadaku, dollar di kantongku) Jakarta ditata dengan indah, ada taman, jembatan melengkung, perumahan dengan kebun di halaman depan dan belakang, gedung pertunjukkan dan bioscoop, dan orang-orang pribumi yang ditempatkan di luar tembok kota. Orang pribumi yang tidak terdidik (walau kaya), hanya mengotori ruang kota, mengambil wilayah ruang publik dan tidak tahu tentang bagaimana menjadi urban-mereka hanya kaum migran, belum mengalami revolusi urban. Tidak ada hukum, tidak ada tata kewargaan. Tapi itu kata kaum kolonialis, mereka berpikir budaya mereka, adat istiadat, kesantunan, pengalaman mereka di Eropadapat begitu saja diterapkan dalam mental orang pribumi. Tembok kota? Tanpa itupun Jakarta sekarang telah mengalami segregrasi sosial yang parah dan rumit, dan semua itu dimulai dari jalan. Jakarta sekarang dikuasai oleh kaum pribumi, dan inilah impian mereka.

Hasrat kota adalah daya untuk mengubah mental orang yang datang untuk tunduk pada imaji kota, sebuah utopia yang dimiliki setiap yang datang. Mimpi penghuni membumbung dari tempat-tempat yang jauh. Mimpi ini menghubungkan masa depan dan masa lalu. Jakarta, kota yang dirawat oleh mimpi, memiliki rumah, penghasilan yang tetap tanpa paceklik, kendaraan untuk bekerja. Kolektivitas ada di ruang masa lalu, di Jakarta hanya ada akuyang kemudian menjadi komunitas anomi, yang ada hanya hasrat untuk mencari dan mengumpulkan benda-benda untuk dibawa dan dipamerkan ke/di desa, hasrat kota adalah daya untuk mengubah mental orang yang datang untuk tunduk pada imaji kota.

Tembok dibangun, tembok pengaman dari kota yang dihantui teror dari cerita tentang Jakarta yang garang, cerita yang dibawa oleh pejabat asal daerah mana, sopir asal daerah mana, pembantu asal daerah mana, preman asal daerah mana. Bahkan iklan tentang orang bertanya, “Mas, aslinya mana?”, di fotocopy-an jawabannya. Pengalaman urban orang Jakarta adalah asumsi apriori, secara keseluruhan adalah fotocopian, Jakarta mesin fotocopy yang mengantarkan kesamaan imaji penghuninya tentang kota yang garang, tidak bersahabat, penuh celaka, penuhcuriga, serba sibuk, serba halal, serba ada. Jakarta sebuah kota dengan imaji deduktif.

Hujan di Jakarta. Bagaimana merasakan kesepian luar biasa di tengah kemacetan biasa. Orang mengamuk. Orang kehilangan. Orang takluk. Kali ini pengalaman di Jakarta yang perlu dibagikan ke masa lalu adalah: di Jakarta kita berjalan mengambang. Selalu berada di antara. Terkadang berada di situasi beku, seperti tidak ada alternatif jalan keluar. Suasana fotocopyan sangat terasa, debu karbon menghiasi langit imaji dari tempat-tempat penghuninya berasal. Orang-orang yang melompati tembok kota.

Jakarta dan masa lalu. How long have it’s been, since you have been here. Banjir di Jakarta kabarnya dari jaman pra sejarah, temuan arkeologi menyatakan sebagian Jakarta memang sering terendam air, bahkan terendam terus-menerus, bahkan sebelum kota ini dibangun. Lanskap kuno Jakarta terdiri daritanah aluvial yang subur dan rawa, pemerintah kolonial kemudian mensiasatinya dengan membangun kota yang ramah terhadap banjir. Kanal, kali dan sungai dipelihara, konsep tata kota yang berkelanjutan diperkenalkan dengan visi yang jelas, membangun untuk selamanya. Pemerintah kolonial membangun dengan visi lebih dari 100 tahun. Meski begitu banjir masih terus mendera Jakarta yang dulu disebut Ratu Dari Timur: Batavia. Visi lebih dari 100 tahun tidak membuat pemerintah kolonial menderita, dengan visi jangka panjang tersebut diharapkan tidak ada repetisi malapetaka. Sekarang Jakarta kehilangan tangan, kehilangan kaki, kehilangan mata, dan sangat mungkin kehilangan jiwa. Hasrat kota merubah mentalnya lewat pengalaman yang menyedihkan, Ratu Dari Timur, yang kemudian menjadi Jakarta yang mengalami schizophrenia . Setiap penghuni mempersepsi realita dengan pendekatan deduksi dari pendahulunya, gagal mencipta pengalaman baru. Pikirannya ada di angan-angan, di impian yang rabun.

Hujan di Jakarta. Disumpahi penghuninya. Mereka bilang setan turun mengunjungi mereka. Air kata Hukum Archimedes mengisi ruang kosong dengan volume tetap. Di masa lalu hujan dicari, bahkan ada cerita tentang seorang sakti dijadikan wali Tuhan cuma karena berhasil menurunkan hujan, hujan yang diserap tanah, menghapus jejak debu karbon di udara, mengundang koor bariton kodok, mencipta guguran bunga jambu. Kinitidak banyak lagi nyanyian menyambut hujan. Di kepala hujan menjadi situasi pening dan sampah musim.

Di saat hujan tumpah ke dalam ingatan, tiba-tiba datang pertanyaan dari lagu lama Have You Ever Seen The Rain? Hujan dengan nuansa folk yang kental, itukah masa lalu, hujan yang datang dengan kenangan, mengolah alam bukan memusuhinya. Hujan yang mengisi ruang kolektif yang seharusnya ditanam dan disemai juga di masa kini dan masa depan dengan volume yang sama. Sudahkan kita benar-benar merasakan hujan mengalir di wajah dan tubuh kita. Mungkin saatnya kita berjalan (bukan berkendaraan) di bawah hujan, jika perlu telanjang, menari,let’s twist again, biarkan hujan menghapus lupa kita. Mungkin itu yang ingin diucapkan hujan.

alluvium |əˈloōvēəm|

noun

a deposit of clay, silt, sand, and gravel left by flowing streams in a river valley or delta, typically producing fertile soil.

schizophrenia |ˌskitsəˈfrēnēə; -ˈfrenēə|

noun

a long-term mental disorder of a type involving a breakdown in the relation between thought, emotion, and behavior, leading to faulty perception, inappropriate actions and feelings, withdrawal from reality and personal relationships into fantasy and delusion, and a sense of mental fragmentation.

(in general use) a mentality or approach characterized by inconsistent or contradictory elements.

Judul lagu dari kelompok Creedence Clearwater Revival (CCR)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline