Lihat ke Halaman Asli

Apa Engkau Bisa Menerimaku?

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku kembali dengan kekagumanku yang tak pernah berhenti, bagaimana bisa aku berhenti mengagumi seseorang yang selalu hadir disetiap hari-hariku melewati dentingan waktu bersama. Pagi, siang, bahkan malampun tak bosan untuk ku memandangi dirimu walau hanya sebatas foto yang tertera di muka handphoneku dan di dalam dompet kusamku. Membuatku terjaga hingga larut malam hanya untuk bisa menemanimu sangatlah menyenangkan, tak lelah rasanya mata ini, seperti ada kobaran api semangat yang tidak bisa memejamkan mata sebelum engkau terlebih dahulu memjamkan mata.

Ini tulisanku yang kesekian untuk kamu, rasanya tak bisa dirasakan lagi bisa menuliskan ciptaan tuhan yang berbentuk wanita yang sungguh luar biasa seperti kamu. Ada janji yang harus aku tepati, aku telah membuat kesalahan yang telah membuat engkau kecewa sehingga aku akan menebusnya dengan caraku, ya dengan caraku. menuliskan engkau di blog kompasiana ku ini. Walaupun tak ada yang membaca tulisanku tak masalah, aku hanya butuh kamu yang membacanya, agar kamu tahu indahnya kamu untuk aku.

Dua hari belakangan ini, kita melewati tengah malam bersama, ternyata dari beberapa obrolan yang kita lakukan melalui whatsapp, kita temukan banyak kesamaan diantara kita. Hanya kesamaan kecil mungkin, tapi itu berharga untuk aku. Aku tak menyangka jika senyummu yang begitu indah menyimpan sejuta makna dan rahasia yang mungkin tak banyak yang mengetahuinya, kita sama, kita dilahirkan di dunia memiliki alur yang sama, tak mungkin ini semua aku tuangkan di tulisan ini, karena ini hanya cerita kami berdua. Alangkah beruntungnya kamu masih memiliki keluarga yang bahagia, dengan ibu dan bapak yang masih bersama dan kumpul dalam satu rumah, diriku? Aku tak pernah merasakan demikian, ayahku meninggalkanku sedari kecil, lahirnya aku ke dunia ayahku pun tak mendampingi ibu ku, aku tumbuh besarpun ayahku tak tahu dengan nyata perkembanganku, bagaikan tak punya ayah.

Sungguh kadang hati ini selalu iri melihat mereka yang bisa berbahagia dengan kedua orang tuanya, aku apa? Aku bisa apa? Tuhan telah memberikan takdir kepadaku sedemikian rupa. Aku tak bisa menolak, aku hanya bisa menjalaninya. Menjalaninya dengan ikhlas dan sabar. Orang tuaku bukan tak mampu mengajakku berjalan-jalan dan pergi ke suau tempat bersama, aku dan ibuku sering melakukan itu, tanpa kehadiran seorang ayah yang entah kemana. Tapi rasanya kurang, hambar dan apa aku hanya bisa menangis saat ini. Memang ayahku tidak meninggal ayahku masih ada di dunia, tetapi dia selalu mencampakkan ibuku yang telah lama menantinya. Benci hati ini melihat ayahku, seandainya meja hijau tak memutuskan untuk aku tinggal dengan ayahku mungkin aku akan berlari dan lebih memilih tinggal dengan ibuku.

Kejadian yang masih sangat aku traumakan, tatkala ucapan berpisah dilontarkan ayahku tepat di depan aku dan ibuku, aku masih keci;, aku mengerti itu tapi aku tak bisa melakukan apa-apa, perjuangan aku dan ibukku untuk kuat dan bertahan selama ini di musnahkan begitu saja. Ramdhan entah ditahun berapa, di bulan suci itu orang tuaku berpisah, aku hanya sendiri bagai tak punya siapa-siapa hingga semuanya menjadi berantakan dan mereka tidak mau di persalahkan atas itu.

Semuanya masih tergambar dengan jelas, masih sangat jelas. Aku akui aku cengeng, aku mudah menangis. Itu semua karena aku tak tahu harus bercerita kepada siapa? Aku cuman bisa memendam dan menanam ini semua di hatiku. Sehat fisikku tapi hatiku keropos dan lemah. Ya, saat ini semuanya ditambah dengan kesalahan ayahku yang entahlah aku kecewa berat. Ayahku harus bangkrut, usahanya yang selama ini di jalankan hilang, meskipun tak semua. Tetapi ini semua karena kelalaiannya yang terlalu mementingkan wanita daripada aku anaknya.

Jihan, itulah keluarga aku. Kamu mau menerima kah latar belakang keluarga aku? Aku bukan siapa-siapa sekarang, hanya begini, tak punya apa-apa dan entah apa aku bisa membahagiakan kamu. Janjiku kepadamu Jihan, kamu tak akan pernah sendiri, kamu tak boleh lelah, kamu harus terus maju karena aku tak mau melihat kamu mundur selangkahpun dan merusak semuanya. Aku akan bantu mendorong kamu sebisaku, tak akan kubiarkan apa yang kualami kamu pun mengalaminya. Saat nanti, engkau ditakdirkan untuk tinggal di malang melanjutkan studimu, aku yang akan menjaga dan berusaha melindungimu dan aku yang akan memperjuangkan kebahagiaanmu.

Tulisan ini aku buat dengan bulir bulir air mata yang akan jatuh namun tak mampu, mencoba tegar namun tak bisa. Masih membekas memang, tapi ah sudahlah itu hanya masa lalu dan kelam keluargaku.

Aku semalam memimpikanmu jihan, tapi entah aku lupa bagaimana cerita di mimpi itu, setahuku dan seingatku itu bukan cerita mimpi yang indah, biasa aja. Jangan ditanya bagaimana mimpiku karena akupun lupa ceritanya.

Inilah aku jihan, pertanyaanku apakah kamu mau menerima semua yang ada pada diriku? Jika tidakpun tak mengapa, aku memahami karena tak mudah memang.

Malang, Selasa, 02 Feburari 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline