Jakarta pernah punya bus butut tapi sangat legendaris PPD, Kopaja dan Metromini yang beroperasi sekitar tahun 1971 sampai 2015. Saking bututnya, kalau jalan pun seringkali mereng-mereng karena penumpang bergelantungan di pintu. Tidak ada AC-nya tapi sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jakarta karena tidak ada pilihan lain yang lebih bagus. Beruntung saat ini sudah tidak terlihat lagi bus kota yang butut dan reot di Jakarta.
Suasana seperti di Jakarta zaman bus PPD, Kopaja dan Metromini jadi raja jalanan ini bisa kita saksikan di Kathmandu, Nepal saat ini. Rasanya, pingin sekali saya sujud syukur sampai ndelosor ketanah kalau membayangkan kemajuan Jakarta dan kota kota lain di Indonesia saat ini. Pemandangan transportasi umum yang saya saksikan saat ini di Kathmandu tidak jauh berbeda dengan apa yang saya saksikan di New Delhi, Agra, Jaipur, Udaipur di India.
Semua bus kota yang berkeliaran di Nepal memang buatan India. Merk busnya di antaranya ialah Mahindra, Tata, Eicher, Ashok dan lain lain. Kalau di Indonesia barangkali merk bus produksi bengkel "Las Bubut Dan Kenteng'"atau bengkel "Ahli Bikin Pagar Dan Teralis". Tidak bisa saya sejajarkan sama sekali dengan perusahaan Karoseri di Indonesia karena produk Karoseri Bus di Indonesia terlalu bagus apabila dibandingkan dengan bus jadul buatan India.
Mesin bus di Kathmandu Nepal sangat berisik dan berasap. Kira-kira suaranya tidak jauh berbeda dengan suara Bajaj buatan India yang juga pernah berjaya di Jakarta. Sekali lagi pingin sekali saya ndelosor ndelosor lagi di tanah untuk sujud syukur karena bus di Indonesia yang sering saya naiki mesinnya Mercedez Bens.
Saya bisa rasakan, naik bus kota di Kathmandu hari ini jauh lebih sengsara dibanding dengan naik Metromini, Kopaja maupun PPD tahun 1980-an. Kalau ngetem nunggu penumpang penuh lamanya bukan main dan berkeringat. Kalau kejar-kejaran cari penumpang bisa tiba tiba ngerem mendadak menghindari tabrakan dengan sepeda motor yang tiba-tiba nyelonong di depan bus.
Saya nggak tahu sama sekali bahasa setempat, tapi umpatan semacam "Jancuk", "Matamu Picek", "Nggak Punya Otak", "Pingin Mati Ya" dll, seringkali terdengar baik diucapkan oleh sopir bus, kenek, kondektur atau pengendara sepeda motor yang mau ketabrak bus.
Yang paling sial kalau bus melakukan pelanggaran lalu lintas. Saya dengar sopir dan polisi debatnya lama sekali dan penumpang dibiarkan kepanasan di atas bus yang tanpa AC. Dari pembicaraan yang saya dengar, sepertinya si sopir tidak merasa melanggar lalu lintas dan si polisi ngotot terjadi pelanggaran lalu lintas. Saya yang nguping di sebelahnya sebenarnya bingung juga, yang dilanggar sebenarnya apa.
Di Kathmandu secara umum bisa saya katakan tidak ada traffic light (hanya ada satu saja itupun mati). Tidak ada juga marka jalan atau pembatas antara jalur sepeda motor, jalur pejalan kaki, jalur bus dan jalur kendaraan pribadi. Tanda STOP dan larangan parkir juga tidak terlihat sama sekali.
Jadi, seandainya saya yang jadi sopirnya, sudah tentu saya akan bingung juga. Kalau tiba tiba dihentikan polisi dan harus bayar cepek kan lama-lama bisa bangkrut juga. Saya perhatikan banyak juga polisi yang terima cepek saat mengatur angkot dan bus umum.
Baca Juga :
- Keliling Kathmandu Naik Angkot
- Pengalaman Above The Summit Mt Everest
- Nonton Prosesi Bakar Mayat Di Nepal
- Mbulet Ruwet Kabel Di Kathmandu Nepal
- Bagaimana Cara Mengurus Visa On Arrival Nepal
- Mendaki Gunung Jaman Now Di Everest Dan Himalaya
- Tea House Trekking Himalaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H