Sebagai karyawan honorer aku dituntut untuk selalu memberikan yang terbaik kepada perusahaan tempat ku berkerja apapun kondisi dalam diriku, memberikan waktu, pemikiran dan tenaga semaksimal mungkin agar tetap bertahan dalam pekerjaaan ini. Jarak jauh yang ku tempuh Cibubur – Tanjung priok menggunakan bis berkutat dengan kemacetan ibu kota setiap harinya harus aku jalani, karena sulitnya mencari pekerjaan di zaman serba sulit ini.
Dalam kondisi ini sebenarnya aku tak tahan lagi ingin rasanya mencari pekerjaan yang mungkin lebih baik dan lebih dekat dari tempat tinggal ku yang masih menumpang dengan orang tua ku, apalagi aku ini seorang gadis berumur 20 tahun, yang baru mengetahui kehidupan luar rumah dan harus pulang pukul 21.30 wib dari kantor setiap harinya. Kadang aku pasang muka masam, muka miris, muka lelah dan mengeluh kepada orang-orang rumah dan teman-teman kerja aku yang rata-rata usianya lebih tua daripada aku.
Pada suatu ketika aku pulang seperti biasa pukul 21.30 wib jampulang kantor, aku menunggu bis yang biasa mengantarkan aku pulang maupun pergi. Menunggu bis dalam keadaan lelah memang amat menjengkelkan karena ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan mengistirahatkan badan untuk bersiap esok pagi berkutat dengan kemacetan kembali.
Saat bis datang aku menaiki bis mencari tempat duduk dekat jendela di sisi kiri bis untuk sedikit menghibur hati dengan melihat lampu ibu kota yang gemerlap dan indah. Dan pada saat berjalannya bis aku melihat sosok bapak mengendarai sepeda motor dengan gerobak disampingnya. Nampak dia sudah selesai berjualan dan hendak pulang ke rumahnya seperti aku. Awalnya, aku tidak memperdulikannya karena jaraknya yang masih jauh antara bis aku dengan motor bapak itu, namun pada saat bis yang aku tumpangi mendekatinya, aku melihat sesuatu yang menurutku ganjil. Oh Tuhan, kakinya tidak menapak pada push step sepeda motornya. Kakinya hanya menggantung kecil, kira-kira hanya 40cm dari pangkal pahanya. Diujung kakinya itu, dikenakan sebuah sepatu yang bagus dan bersih namun arah sepatu itu terbalik, ujung jari yang seharusnya menghadap ke depan ini justru ke belakang.
Sejenak aku merasa miris. Aku kagum dengan semangat bapak itu. Walau keadannya seperti itu, dia tetap semangat bekerja. Dia tidak meminta-minta seperti kebanyakkan orang yang mengalami hal yang sama seperti dia. Dia tidak berpakaian kusut supaya dikasihani, tapi justru berpakaian rapi dan bersepatu. Dia bekerja sampai semalam ini pula. Aku terus menatap bapak itu sampai hilang dari pandanganku karena bis yang aku tumpangi terus berlaju dan mulai rabun mataku karena air mata yang terendap tidak mengalir di mata ku.
Aku merenung, adakah aku lebih semangat dari bapak itu? Aku lebih sempurna secara fisik. Lebih banyak hal yang bisa aku lakukan dengan fisikku ini. Tapi seberapa mampu aku mengolah segala yang aku miliki. Sering kali aku memoles diriku supaya dikasihani, menempatkan diri sebagai sosok yang menderita, memliki persoalan hidup terberat, memasang muka masam, muka lelah, dan putus asa mengeluh dalam berusaha. Tapi sesorang yang tidak ku kenal malam ini telah mengajarkan aku bahwa apapun keadaan diri kita. Jangan kita berputus asa. Semua pasti ada jalan, asal kita mau berusaha . teruslah bersemangat. Tampilah sebagai orang yang pantas dihargai bukan dikasihani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H