Lihat ke Halaman Asli

Tengku Irfan

Merancang Senjata dengan Kata-kata

Mengintip Peluang AHY Mendampingi Anies

Diperbarui: 1 Februari 2023   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Koalisi perubahan yang dimotori Nasdem, Demokrat dan PKS telah sepakat mendukung mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan untuk Pilpres 2024. Koalisi tiga Parpol tersebut mengantongi 28,35% kursi parlemen, melebihi ambang batas Presidential Threshold 20%.

Menjadi pertanyaan selanjutnya, siapa Cawapres dari koalisi perubahan? Jauh hari santer nama Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendamping Anies Baswedan. Belakangan, nama AHY mulai dibenturkan dengan sejumlah nama, salah satunya Khofifah Indar Parawansa.

Nasdem sendiri sebagai yang paling awal mendukung Anies, bukan tanpa perhitungan yang jelas. Bisik senior saya, survey internal Nasdem dalam dua tahun terakhir menunjukkan Anies Baswedan tertinggi elektabilitasnya untuk Pilpres 2024.

Keputusan Nasdem mendukung Anies bukan perkara mudah, tapi itulah yang harus diambil Surya Paloh di usia senjanya untuk menyelamatkan Nasdem. Meski Nasdem, partai pengusung Ahok di Pilkada DKI 2017 lalu itu harus siap kehilangan basis pendukungnya yang lama. Nasdem kini, coba merebut pemilih kanan yang mayoritas diisi masyarakat Islam Moderat. Pun, tentu Paloh ingin jadi 'pemain' di Pilpres 2024 mendatang.

Seperti diprediksi jauh hari, koalisi tiga partai ini terbentuk. Lagi pula Nasdem, tak mungkin lari ke partai lain. Pindah haluan, atau kehilangan besar. Bagi Nasdem, mengusung Anies adalah perjudian dengan hitung-hitungan terukur, dan hanya dengan partai opisisi yaitu Demokrat dan PKS, pindah haluannya Nasdem dapat berjalan mulus. Kalau setengah-setengah, Nasdem akan tenggelam.

Lantas kenapa kemudian nama Khofifah dimunculkan sebagai pendamping Anies? Jika alasannya merebut suara NU, rasanya kurang tepat. Khofifah tak punya Partai, meski Cak Imin dan PKBnya tak lagi mendapat dukungan dari PBNU. Khofifah juga punya hubungan emosional dengan Demokrat dimana puteranya merupakan Wakil Ketua Demokrat Jawa Timur. Begitu pun, Ma'ruf Amin, tokoh NU lainnya, puterinya merupakan Ketua Umum Perempuan Demokrat Republik Indonesia (PDRI). Khofifah tidak satu-satunya representasi NU, di kalangan sesama perempuan, selain Siti Nur Azizah Ma'aruf, NU masih punya nama Yenni Wahid, puteri tokoh kharismatik NU Alm. Gusdur.

Pun, jika Khofifah dianggap yang paling mampu menandingi Ganjar, itu pun menurut saya kurang tepat. Basis pemilih Khofifah dan Ganjar itu berbeda. Khofifah basis pemilihnya warga NU dan Islam tradisional, Khofifah laku di Jawa Timur tapi belum tentu bagi kalangan Islam moderat di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sementara Ganjar, ia laku di Jawa Tengah dengan basis pemilih dari kelompok Kiri, Abangan dan Kejawen. Lagi pula, apa mungkin Si Nyonya Besar rela melepas PDIP pada Ganjar?

Mengapa muncul nama Khofifah? Alasan paling masuk akal adalah Gerakan Asal Bukan AHY. Sosok AHY momok bagi Parpol lain, bahkan (mungkin) bagi Parpol dalam koalisi yang sama. AHY tak boleh jadi, kalau AHY jadi Wakil Presiden 2024, maka AHY berpeluang besar jadi Presiden di 2029 dan Demokrat dapat mengulang kejayaan seperti di Pemilu 2009. Hal yang tentu tidak diinginkan Parpol yang 'founder'nya tak punya trah penerus yang mumpuni. Itulah mengapa Gerindra selalu mengusung Prabowo atau alasan Paloh memilih Anies untuk menyelamatkan Nasdem.

Framing media pun dibuat, bahwa AHY tak layak mendampingi Anies. Mulai dari kurangnya pengalaman hingga elektabilitas rendah. Padahal berbagai lembaga survey, termasuk Survey Litbang Kompas yang dapat dipercaya, menunjukkan elektabilitas Demokrat selalu masuk 3 besar, AHY masih yang teratas mendampingi Anies dan survey di kalangan milenial, nama AHY juga selalu masuk yang teratas.

Pembegalan pada sosok AHY sudah dimulai jauh hari. Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mencoba merebut kursi Ketum Partai Demokrat tapi kandas di tengah jalan.

AHY adalah hari ini dan masa depan. AHY punya semua modal untuk jadi pemimpin republik. Selain punya partai,  AHY dinilai mampu mewakili suara Gen Z dan Milenial yang jumlahnya mendekati angka 60% di Pemilu 2024. AHY, lulusan terbaik Akmil tahun 2000 itu juga memiliki kecerdasan di atas rata-rata, memiliki leadership yang cakap, pemilik tiga gelar master dengan predikat Summa Cumlaude di Nanyang Siangpore, Harvard University dan Webster University Amerika Serikat itu juga berwawasan global dan sangat layak tampil berdampingan dengan pemimpin-pemimpin dunia. Dari segi fisik, siapa yang tak dapat melihat kharisma seorang AHY?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline