Lihat ke Halaman Asli

Dari Cebongan ke Cijantung, Kita Berdebat

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Pertikaian antara Kopassus melawan Preman Jogya mulai memasuki babak krusial yaitu proses pengadilan. Masing-masing pihak mengklaim kebenarannya sendiri. Prajurit Kopassus yang didukung oleh sebagian besar Masyarakat Indonesia menyatakan bahwa penyerbuan Lapas Cebongan adalah suatu akibat, dapat dibenarkan secara moral, premanisme mesti diberantas. Sementara Preman Cebongan yang disponsori Komnas HAM menyatakan bahwa preman pun mesti dilindungi hukum, pembunuhan terhadap Serka Santoso dan pembunuhan lainnya adalah kejahatan ringan yang tak perlu dipersoalkan. Kedudukan sekarang, Komnas HAM berhasil menggiring opini hukum menempatkan Kopassus di pihak yang salah, sedangkan para Preman Jogya yang telah mati akan dikenang sebagai martir, dan yang belum tertangkap bisa pulang ke kampung halamannya untuk menikmati kemenangan!

Lapas Cebongan, betapa pun hanya lapas yang bau, ia adalah simbol negara. Ia lebih bermartabat daripada Markas Kopassus Cijantung. Ketika kehormatan sekalian Prajurit Kopassus terluka hebat akibat ulah cecurut-cecurut busuk yang disimpan di Lapas Cebongan, tetap saja cecurut itu tak boleh diganggu karena mereka berada di istana terhormat. Daripada Lapas Cebongan yang runtuh lebih baik Markas Cijantung yang terbakar. Daripada kehormatan prajurit yang pulih lebih baik hak hidup cecurut dipertahankan.

Mereka memang manusia, tetapi kelakuannya lebih buruk daripada babi hutan!

Bahwa Prajurit Kopassus akan menghadapi sanksi hukum, itu sudah pasti. Persoalannya tinggal pada berat-ringannya hukuman. Jika keinginan Komnas HAM dan segelintir humanis gaek dituruti hakim, maka dakwaan yang akan dikenakan adalah pasal Pelanggaran HAM Berat, hukumannya adalah eksekusi mati di depan regu tembak. Jika dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Sedang atau Ringan, hukumannya berkisar dari 5 tahun sampai 20 tahun penjara. Yang pasti 11 Prajurit Kopasssus itu akan dipecat dari dinas militer dan menghabiskan sisa hidup di dalam penjara.

Pasal mana yang akan dikenakan, masyarakat cuma bisa menunggu. Bahkan penulis baru tahu kalau pasal-pasal pada UU HAM itu ada kelas-kelasnya seperti pada pertandingan tinju. Sebagai gambaran saja, jika dikenakan pasal Pelanggaran HAM Berat berarti setara dengan pembunuhan 3 juta penduduk sipil ‘tak berdosa’ oleh Rejim Khmer Merah pimpinan Heng Shamrin di Kamboja. Istilah ‘tak berdosa’ itu penting, karena menurut Komnas HAM, 4 tahanan Cebongan yang dibunuh Kopassus itu adalah manusia suci sekelas malaikat, tak punya kesalahan walau se-ujung rambut. Adapun pemerkosaan dan pembunuhan yang mereka lakukan sebelumnya adalah perbuatan mulia. Sedangkan Alm. Serka Santoso dan keluarganya, bagi Komnas HAM itu hanyalah titik kecil yang tak punya arti. Jasa-jasa Serka Santoso sebelumnya ikut menjaga perbatasan di Papua, itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan jasa para preman mengedarkan sabu-sabu di Jogyakarta. Itulah mengapa Ketua Komnas HAM yang perempuan itu terus-menerus mendamping keluarga kutu busuk itu dari Cebongan sampai Jakarta, jika perlu sampai ke kantor majikannya di luar negeri.

Tinggallah masyarakat luas yang merugi. Bagaikan memakan buah simalakanyut, dimakan kerbau hilang tidak dimakan kambing hanyut. Kopassus dihukum berat atau ringan, tak ada untungnya bagi masyarakat kecuali merugi dan merugi. Sebab tentara yang selama ini menjadi sahabat dekat masyarakat terutama di pedesaan, akan menjauh. Mereka akan menjaga jarak. Jangankan lagi membela orang lain, membela diri sendiri pun mereka disalahkan. Jika terjadi perampokan, perang antar kampung, pembunuhan atau pemerkosaan, mereka akan cuek bebek saja. Mereka tidak merasa terbebani lagi. Kalau mereka sendiri yang dirampok, tentu saja mereka bisa kokang senjata!

Sebaliknya preman terbahak-bahak. Sudahlah mengedarkan narkoba dan membunuh tentara, dapat sanjungan pula. Jika selama ini mereka takut kepada Babinsa, sekarang tidak lagi. Aliran narkoba akan semakin lancar ke desa-desa.

Dari Cebongan ke Cijantung, kita berdebat. Dari Cebongan ke Cijantung, terasa sejauh bumi dengan langit. Perlahan namun pasti, persoalan bangsa ini semakin parah. Sejarah mencatat, kokoh-tegaknya NKRI dilandasi oleh kekompakan antara tentara dan masyarakat. Jika tentara dan masyarakat terpisah, itu adalah ancaman yang nyata.-

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline