Lihat ke Halaman Asli

Mengatasi Tawuran di Zaman Romawi Kuno

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13490739772021962378

[caption id="attachment_215576" align="aligncenter" width="400" caption="Sepatu dan ikat pinggang milik korban yang masih tertinggal di lokasi terjadinya perkelahian antarpelajar di Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu (26/9/2012). Tawuran yang melibatkan pelajar dari sekolah Kartika Zeni dengan Yayasan Karya 66 ini membuat satu orang pelajar luka parah dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo./Admin (KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA)"][/caption]

Sesungguhnya budaya tawuran bukanlah monopoli Orang Indonesia saja dan jaman sekarang saja. Melainkan aksi tawuran telah menjadi penyakit dunia dan telah ada sejak dahulu kala. Dari dahulu hingga sekarang, dampak yang ditimbulkannya sama saja, yaitu terganggunya ketenteraman umum, rumah dan harta benda yang hancur dan jatuhnya korban jiwa. Untuk itu beberapa pemimpin dunia menyiasatinya dengan cara dan inovasi masing-masing.

Ketika Maharani Theodora yang cantik jelita memimpin Kerajaan Romawi Kuno, ia mempopulerkan cabang olahraga bernama Gulat Romawi, yang kini dikenal dengan nama smack-down. Ia perintahkan panglima perangnya yang termasyhur, Jenderal Belisarius, mengumpulkan preman jalanan yang kerap melakukan keonaran di Kota Roma, untuk dipertontonkan dalam pertarungan bebas tanpa senjata, sampai mati, di atas ring. Pertandingan berakhir setelah salah satu pemain berhasil membunuh lawannya…., diiringi tepuk tangan membahana dari penonton, termasuk Sang Maharani ikut berjingkrak-jingkrak. Diakui atau tidak, Gulat Romawi yang mematikan telah menekan jumlah tawuran di seluruh kerajaan. (Maaf, tak ada link soal ini!)

Di Spanyol Kuno, dikenal pula pertarungan hidup-mati yang dilangsungkan dalam kegelapan kolosium (bangunan berbentuk tempurung menelungkup tanpa sinar). Masing-masing petarung masuk melalui pintu yang berbeda dengan belati di tangan. Bersamaan dengan itu dimasukkan pula seekor ular kobra paling ganas. Ketika pintu ditutup, mereka langsung terlibat dalam pertarungan senyap, tanpa seorang pun menyaksikan. Pemenangnya ditentukan keesokan harinya, ketika pintu dibuka, seseorang keluar sambil sempoyongan. Tapi seringkali malahan tak ada yang keluar, karena dua-duanya tewas. Yang satu tewas kena tikaman, sedangkan satunya lagi tewas digigit ular kobra. Permainan ini pun berhasil menekan jumlah tawuran di negeri itu pada tingkat signifikan.

Sedangkan di Wilayah Jakarta tempo doeloe, dikenal adanya Lembah Kematian, kira-kira terletak di Condet sekarang ini. Pasir di lembah itu selalu lembab oleh darah para petarung. Setiap bulan purnama, seluruh laki-laki bertatto dan berandalan tengik dari seluruh penjuru negeri digiring menuju tempat itu, untuk uji nyali dalam festival tawuran sampai mati. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus manusia bergelimpangan tanpa nyawa. Seorang jawara terkenal dari Lembah Kematian adalah Si Mata Malaikat yang licik, yang telah membantai ribuan begajul jalanan. Selanjutnya Si Mata Malaikat ditaklukkan oleh jawara yang santun, yaitu Barda Mandrawata alias Si Pitung alias  Si Buta Dari Gua Hantu.

Ketika Barda Mandrawata turun ke Sungai Ciliwung untuk membasuh kakinya, ia berkata kepada gadis-gadis yang sedang mandi: “Mentang-mentang aku buta, enak saja kalian membugil seperti bayi……..!”

Kesimpulannya, untuk menghentikan tawuran antar pelajar di Jakarta, apa perlu tradisi Lembah Kematian dihidupkan kembali?

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline