Lihat ke Halaman Asli

Duka TKI, Duka yang Dicari-cari

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebenarnya, cerita duka TKI di luar negeri masih menyisakan misteri. Mungkin benar adanya, mungkin juga sengaja dibesar-besarkan, untuk mencari perhatian. Faktanya, bekerja sebagai TKI/PRT di luar negeri terus saja diminati. Bukan cuma dari golongan ekonomi lemah, termasuk juga yang setengah mapan. Berlomba-lomba berangkat. Ada yang sampai rela menjual kambing atau kerbau untuk menutupi biaya. Tak mungkinlah fenomena seperti itu terjadi kalau bukan karena kebahagiaan menanti di seberang laut!

Atau mungkin karena mabuk luar negeri? Mungkin saja! Sebagaimana kita lihat prakteknya sehari-hari, bangsa kita ini memang kesengsem dengan segala yang berbau luar negeri. Sudah merasa hebat kalau bisa berfoto di gurun atau cerita sedikit mengenai bersalaman dengan gorilla. Mulai dari rakyat jelata sampai pejabat tinggi mengidap penyakit ini. Seandainya kelahiran bisa diulang, akan banyak Orang Indonesia minta dilahirkan dari perut bule dengan ayah negro, atau ibunya dari Yunani ayahnya dari Turki, supayaberambut pirang seperti Mister Bean. Sungguh celaka terlahir sebagai Orang Indonesia, dengan kulit dan mulut Indonesia, dinamai Sukinem dan Tukimin pula!

Jika tidak, mengapa begitu ngotot berangkat ke luar negeri kalau hanya menjadi TKI/PRT? Apa masalahnya? Benarkah profesi TKI/PRT mesti kita anggap sebagai pekerjaan terhormat yang layak diwariskan kepada anak-cucu? Sebenarnya, kalau hanya pekerjaan seperti itu tak kurang banyaknya di Indonesia ini. Kebun kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan sekarang ini kekurangan tenaga kerja, dan kaum ibu di kota-kota besar Indonesia kesulitan mendapatkan pembantu rumah tangga.Soal besaran gaji mungkin jadi pertimbangan, tapi bekerja di negeri orang lebih besar resikonya. Sudah banyak kejadian menyedihkan yang tak layak disebutkan satu persatu.

Kemarin, ada lagi postingan mengenai TKI yang bekerja di perkebunan sawit Malaysia, menjadi HL pula. Isinya merengek-rengek mengenai nasib yang pilu, kerja banting tulang tak sesuai bayaran. Tulisan itu langsung saya tembak dengan komentar tajam: “Hei, penulis, saya muak dengan cerita ini!”

Sebagai praktisi kebun kelapa sawit, saya tahu dinamikanya di lapangan. Saya tahu volume pekerjaannya dan bayaran-bayarannya. Saya juga tahu, masih terbuka kemungkinan bagi siapa pun anak-negeri ini untuk memiliki kebun kelapa sawit sendiri, menikmati keramahan alam nusantara ini. Kalau tak bisa memiliki kebun yang lebar, sedikit pun jadilah. Memang perlu uang untuk membeli lahan, tetapi modal utamanya adalah tekad dan niat. Kalau setiap hari bekerja di lahan sawit, di negeri sendiri pula, lambat laun akan menemukan kesempatannya. Karena rahmat Tuhan itu tak ada batasnya ….

Sekarang ini, tak sulit mendapatkan uang Rp. 100.000.- per hari di kebun kelapa sawit, di Sumatera dan Kalimantan. Bagi yang badannya kuat, bisa meraih lebih dari itu. Tapi itu pun jarang yang mau. Maunya berleha-leha saja, sisip sedikit ngacir jadi TKI ke luar negeri….

Lalu muncul cerita-cerita mengenai duka bekerja di negeri orang. Maka saya mengatakan: Itu duka yang dicari-cari!

Tulisan ini pastilah tajam menusuk bagi mereka yang terkena. Sama seperti kekecewaan saya ketika kampanye pertanian ditanggapi sinis. Bagi siapa pun yang membaca tulisan ini saya perlu tegaskan bahwa hidup ini menyediakan pilihan-pilihan. Siapa pun boleh memilih sesuai jalan hidup yang diingininya. Ingin menjadi TKI silakan menjadi TKI, ingin bertani silakan menjadi petani, ingin menjadi nelayan silakan membeli sampan. Satu hal, setiap orang harus berusaha merubah nasibnya sendiri, lebih mudah melakukannya di negeri sendiri. Jangan menyerah pada kemiskinan, dan jangan sia-siakan warisan nenek moyang. Persoalan utama yang membuat bangsa ini terperosok dalam kesulitan adalah : Anak bangsanya tidak bangga dengan tanah airnya.

Selamat Malam Kompasiana!

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline