Lihat ke Halaman Asli

Tanah Ulayat, Warisan Kusut Nenek Moyang

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kusut bagai segumpal benang basah, begitulah tanah ulayat.Sudahlah basah, diinjak-injak kerbau pula. Bagaimana hendak mengurainya? Dalam UU Pokok Agraria tahun 1950, yang selanjutnya dijabarkan dalam Perpres No. 65 tahun 2006, keberadaan tanah ulayat diatur melalui pasal yang bersifat sangat umum, mengingat UU itu diproyeksikan berlaku untuk seluruh NKRI. Pengaturan yang sangat umum itu berpotensi multi tafsir dan tidak dapat dijadikan sebagai pijakan operasional di lapangan. Itulah sebenarnya alasan mendasar yang mengakibatkan banyak kelompok masyarakat berdemo ke Jakarta, menuntut revisi UU Agraria!

Akan tetapi bagaimana merevisinya? Revisi seperti apa mau-nya? Sementara kelompok adat di Indonesia ini beratus-ratus jumlahnya dan beratus-ratus pula lagak-lakunya. Penting diketahui bahwa aturan adat itu adalah ketok-tular, merupakan kebajikan yang bertumpu pada kebiasaan-kebiasaan lokal, tak ada cetak-birunya. Lain lubuk lain ikannya, lain kerbau lain kutunya. Maka UU Agraria itu berbunyi: Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Perhatikan, betapa rumitnya menafsirkan UU itu jika dihadapkan dengan peradaban masa sekarang. Ada tanah adat, hukum adat danmasyarakat hukum adat. Semenjak jaman nenekmoyang hingga sekarang, tiga faktor itu tak dapat digunakan sebagai pijakan hukum positif. Ia adalah entitas samar-samar, musyawarah-musyawarah, kebijakan-kebijakan yang tidak mengikat, yang lebih kencang berbunyi pada upacara-upacara perjamuan menyangkut kepada siapa kepala kambing dihidangkan. Itu saja sudah menimbulkan multi tafsir. Belum lagi berhadapan dengan UUD 45 yang berbunyi: Kekayaan alam berikut bahan tambang yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara.

Hal yang paling mungkin adalah setiap Pemda membuat Perda Pengelolaan Tanah Ulayat sendiri-sendiri. Namun sampai sejauh ini Pemda yang telah menyusun draft pengelolaan tanah ulayat barulah Pemda Sumatera Barat. Itu pun masih sebatas draft, masih belum diteken. Sedangkan daerah lain, jangankan menyusun draft-nya, terbayang saja, belum. Bukan karena malas atau apatis, akan tetapi karena hukum adat itu adalah rimba belantara remang-remang yang tak jelas jalan masuk dan jalan keluarnya.….

Dominasi hukum negara mesti tetap menjadi acuan hukum di seluruh Wilayah NKRI. Kepala Desa sebagai perangkat pemerintahan definitif terendah, mestilah memiliki jabatan melekat sebagai kepala kelompok adat. Tanah ulayat yang menjadi tanggungjawabnya adalah lahan kosong tak berpunya yang ada di pekarangan desanya. Di Pulau Jawa dikenal sebagai tanah bengkok desa. Sedangkan wilayah di luar itu, menyangkut hutan lindung, penyangga hutan lindung, taman margasatwa, gunung berapi dan ngarai-ngarai, hutan produksi dan lain-lainnya sepenuhnya dikuasai oleh negara. Jika hutan-hutan itu hendak dialihfungsikan, itu merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai hirarkinya. Warga masyarakat dapat mengambil manfaat darinya, sepanjang tidak ada pihak lain yang berkeberatan dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.

Jelasnya adalah, tanah ulayat berada dalam pekarangan desa. Sedangkan UU tentang Pemerintahan Desa menyebutkan secara tegas adanya batas wilayah desa. Pengertian semacam itu telah dipahami oleh hampir setiap tokoh adat di Pulau Sumatera. Tetapi yang dituntut masyarakat pendemo sekarang ini bukan lagi tanah pekarangan desa, melainkan merambah jauh di luar itu. Dimana ada perkebunan dibuka dan mulai menghasilkan buah, disitu langsung muncul persoalan tanah ulayat. Itulah sebabnya, mengapa demo-demo itu tidak disertai oleh Penghulu Adat dan para Kepala Desa dari daerah asalnya.

Kesimpulan saya sementara ini adalah, jika ada orang berteriak-teriak menuntut reformasi agraria terkait pembagian tanah ulayat, itu karena ia tidak tahu esensi keberadaan tanah ulayat itu. Jika ada orang berkelahi sampai banting-bantingan karena persoalan tanah ulayat, itu bisa membuat nenek moyang memekik-mekik kesakitan dalam kuburnya, karena mereka mewariskan persoalan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Begitulah tanah ulayat.

Add. Tengku Bintang, Penghulu Adat yang tak punya Tanah Ulayat.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline