Lihat ke Halaman Asli

Badik, Clurit, Rencong, dan Mandau

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir semua dari kita pernah mendengar atau melihat wujud senjata tajam yang bernama badik, clurit, rencong dan mandau. Badik berbentuk pisau belati dengan mulut terbalik, clurit berbentuk sabit besar, rencong berbentuk ramping dengan ekor gagang melentik ke atas, sedangkan mandau berbentuk parang bersarung. Selain clurit yang biasa disembunyikan di selangkangan, senjata lainnya biasa disembunyikan dengan diselipkan di pinggang.

Dari tampilannya saja semua senjata itu memancarkan aura mengerikan, karena ia dirancang untuk melukai atau membunuh manusia. Patut disayangkan, sebagian orang masih menganggapnya sebagai kebanggaan khas daerah, sehingga keberadaannya terus dipelihara hingga kini. Bahkan para tokoh di Jakarta memajangnya sebagai hiasan di rumah masing-masing sesuai daerah asalnya. Riyacudu dengan badiknya, Surya Paloh dengan rencongnya, Mahfud MD dengan celuritnya, Hamzah Haz dengan mandaunya.

Jika tidak, mengapa sampai sekarang tidak ada upaya mengahapus budaya itu? Padahal ia melambangkan kebodohan, kelicikan, dan sifat pengecut! Cerita-cerita bahwa senjata itu digunakan dalam perang kemerdekaan adalah omongkosong belaka. Nonsens!

Dari dahulu hingga sekarang, senjata itu lebih banyak digunakan para begajul untuk berkhianat, merampok, memperkosa perempuan, dan membunuh orang lemah. Sebagaimana bunyi pepatah, hanya telur sekeranjang yang saling beradu. Tak terhitung banyaknya manusia tewas di ujung senjata-senjata itu: Suami membunuh isteri, anak membunuh ayah, menantu membunuh mertua, keponakan membunuh paman…., begitu terus saling membunuh antar sesama tetangga, sesama saudara.

Beruntunglah, jika Anda berasal dari daerah yang tidak ada tetek-bengek senjata khasnya. Itu berarti nenek-moyang  Anda telah cerdas!

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline