Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Sastra Tidak Disukai Di Kompasiana?

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya bukan hanya di Kompasiana, tapi di seluruh komunitas masyarakat kita saat ini sastra tidak mendapat tempat semestinya. Jika sastra merupakan kebutuhan penting sebagaimana dikemukakan Pramudya Ananta Toor: ”Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (Bumi Manusia, Juffrow Magda Peters, 233), maka situasi itu merupakan kealpaan yang patut disesali. Karena sastra merupakan ekspresi keindahan dan kehalusan rasa, menikmatinya dapat mengarahkan perilaku manusia menuju keluhuran budi. Sebaliknya, tanpa menyukai sastra dapat menjadi indikasi berkembangnya kejahatan, kata-kata kotor dan menurunnya kualitas kemanusiaan.

Zaman-zaman keemasan sastra di Indonesia terbentang semenjak Raja Ali Haji dengan Gurindam XII-nya yang terkenal. Disusul Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 66, lalu seakan berhenti. Pada masa itulah negeri ini melahirkan tokoh-tokoh mendunia seperti Gajah Mada, Raden Wijaya, disusul kemudian para Pahlawan Nasional sekelas Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, DR. Muhammad Yamin, Bung Karno dan Bung Hatta, dan lain-lainnya, lalu seakan berhenti pula. Saat ini, di tengah kelesuan Sastra Indonesia, kita melihat langsung lahirnya tokoh-tokoh politik nasional yang gemar berkata-kata kotor, rendah integritasnya dan buruk perangainya.

Mungkin ada hubungannya, mungkin juga tidak.

Namun demikian, khususnya di Kompasiana ini, saya akui tidak banyak kita temukan postingan sastra yang bermutu. Pada umumnya hanyalah diary-diary pribadi yang saya sebut sebagai mencuri ketenteraman gunung-gunung untuk kesenangan dirinya sendiri. Salah satu yang sangat bermutu telah saya ulas di sini, dalam postingan berjudul Inilah Cerpen Hebat Kompasiana. Namun itu pun tidak mendapat perhatian dari Admin Kompasiana. Kalau saja Admin membacanya, setidaknya karya itu akan dimoderasinya menjadi HL, bahkan mungkin Admin akan membuat komentar khusus tentang karya sastra yang sangat mengejutkan itu.

Terkait dengan itu semua, saya menghimbau kepada rekan-rekan kompasianer yang berminat pada seni sastra, untuk terus menggagas sastra bermutu. Jangan terburu-buru memosting suatu karya, melainkan telitilah terlebih dahulu. Yakinkan bahwa tulisan itu mengandung pesan yang dalam, yaitu: Memuliakan martabat kemanusiaan.

Penting untuk diingat bahwa tak ada karya sastra dibuat sekali jadi. Ia harus di edit terlebih dahulu. Diteliti dan diteliti lagi, disempurnakan dan disempurnakan lagi. Barulah kemudian di lepas ke depan khalayak ramai.

Selamat Menulis Sastra.

*****




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline