KETIKA CEMBURU KARENA KESALAHAN
Kutatap matanya ada gagak tertawa
Kulihat dadanya ada anakan gunung berapi.
Masih kupandangi setiap inch lekuknya ada butiran biji mahoni di bibirnya yang kaktus
Terlihat di tangannya belati bermata dua.
Langkahnya orbitan meteor
Asap dari wuwungan kepala serupa tanduk banteng.
Dengan apa aku yakini bahwa kata maaf adalah permintaan ketidak tahuan
Atau haruskan kubungkukan ujung batang bambu sampai tanah.
Marahnya laut
Bicaranya ombak
Puluhan kata tak lagi mampu menembus karangnya
Jutaan permohonan tak lagi bisa menggarami periuknya
Telinganya pintu Bromo
Dengusnya asap belerang
Mungkin diam lebih mendinginkan puncak Himalaya
Memilih tertidur di atas ranjang musim salju di Fujiyama
Menunggu hardiknya, jika itu aroma badai
Biarlah rontok semua wewenang
Pada kaki, melipat tunggu
Pada wajah, menanti topan