Lihat ke Halaman Asli

Sabda13

Tertutup | Mahasiswa

Dinasti Umayyah: Awal Masuknya Nilai Materialis dalam Diplomasi Islam

Diperbarui: 3 Oktober 2019   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kumparan.com

Dalam sejarah Islam, kekuasaan Dinasti Umayyah dianggap sebagai titik era perubahan dalam pemerintahan Islam. Sebelumnya dimasa Rasulullah atau era kekhalifahan menekankan sistem musyawarah, Dinasti Umayyah justru mengambil sistem kerajaan dari peradaban Romawi. Selain itu mulai adanya pemisahan kepala pemerintahan dan kepala agama. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin yang mana sang khalifah memegang segala aspek dalam pemerintahan Islam. 

Jika ingin dibahas perubahan dalam tata negara Islam, tentu masih banyak lagi. Namun yang menjadi sorotan adalah adanya indikasi bibit nilai materialis dalam pemerintahan. Terutama didalam diplomasinya. 

Kita mengetahui secara umum bagaimana usaha para khalifah meneruskan estafet bendera perjuangan Rasulullah. Banyak sekali para munafik di masing - masing era khalifah menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi konflik internal yang mana susah untuk ditemui pemecahannya. Terutama dalam kasus pembunuhan Utsman bin Affan yang sampai menyebabkan perpecahan antar umat Islam. 

Bukan berarti dengan banyaknya permasalahan para khalifah melupakan perjuangan Rasulullah dalam mendakwahkan Islam kepada non- muslim di luar daerah kekuasaan. Namun perluasan daerah kekuasaan bukan menjadi fokus utama. Seperti di era Umar bin Khattab yang melarang para sahabat untuk melakukan ekspansi besar - besaran, walau mempunyai pasukan mumpuni. Hal yang ditakuti Umar adalam menurunnya nilai perjuangan orang - orang Islam dan akan mengubah perilaku sederhana mereka diakibatkan harta rampasan dalam perang. 

Berbalik dengan Dinasti Umayyah, pemerintahan Islam setelah Khulafaur Rasyidin memiliki wilayah hingga ke Afrika dan hubungan persahabatan dengan Cina. Ini menjadi keuntungan bagi Islam dimana pengaruhnya yang semakin kuat ditambah dengan masuknya kaum Barbari dengan karakteristik setia dan berani. Hanya saja kekuasaan pemerintahan Islam yang luas menjadikankan pembangunan kebudayaan Islam prioritas. 

Kemajuan kebudayaan yang pesat berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan. Lalu ini menjalur pada ekonomi melimpah yang ternyata membuat sedikit terlena para penguasa. Pengelolahan Baitul Mal juga mulai disalahgunakan dengan pengaliran dana ke Istana. Rakyat banyak yang menderita. 

Pembagian dua golongan antara Bangsa Arab dan Bangsa Mawali (non-Arab) turut membantu kemunduran Islam dalam dinasti ini. Banyak juga konflik internal dan eksternal ikut meramaikan. Sedangkan raja yang menempati pemerintah sudah terlena dengan materialisme sehingga tidak mampu melihat dengan murni permasalahan umat. 

Arah diplomasi Islam yang diajarkan Rasulullah adalah dakwah dengan tidak menghiraukan nilai toleransi. Hal ini masih dijaga oleh Khufaur Rasyidin. Bukan suatu kesalahan bagi Dinasti Umayyah memperluas wilayah Islam dengan tujuan memperkuat pengaruh Islam. Yang disayangkan adalah ketidaksiapan para raja untuk menghadapi beratnya memegang kekuasaan wilayah yang luas, terutama setelah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. 

Benar apa yang dikawatirkan Umar bin Khattab, dengan perluasan wilayah secara besar - besaran akan mengubah karakter umat Islam sendiri. Gaya hidup hedon para raja membuat mereka lupa dengan misi dakwah Rasulullah. Dibalik perluasan wilayah yang mengharuskan perkembangan kebudayaan duniawi, melemahkan kebudayaan Islam dan berimbas pada gerakan dakwah juga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline