Lihat ke Halaman Asli

[Fiksi Fantasi] De Javu

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Liem, no.10

“Seperti pernah mengalami.”

“De Javu?”

Kata yang menarik perhatian, membuat Ellie menoleh dan memperhatikan dua gadis sedang berdiri di antara rak buku. Sebenarnya bukan fenomena de javu yang membuat Ellie tertarik, tapi setiap kali ada orang mengalaminya maka Ellie akan menemukan sahabat-sahabat kecilnya di sekitar orang itu.

Gadis liliput bersayap, mereka terlihat bercahaya seperti bintang di malam hari. Orang-orang menyebut mereka sebagai peri, itulah sahabat kecil Ellie. Peri memang selalu dikatakan hanya muncul di dunia dongeng, meski sebenarnya juga ada di kehidupan nyata. Mereka memiliki peran yang sangat penting, selalu menolong manusia tanpa mengharapkan balasan.

“De javu,” Ellie membatin. “Fenomena yang pasti pernah dialami setiap manusia, tapi tidak diketahui sebabnya. Bila bukan karena waktu itu, aku juga tidak akan tahu jawabannya.”

***

“Yggdrasil?” ujar Ellie mengulang perkataan Michael, kekasihnya.

Mendengar nama-nama aneh terucap dari mulut Michael sudah hal biasa bagi Ellie. Wanita itu tahu, Michael memiliki kemampuan yang tidak biasa, orang awam akan menyebutnya penyihir.

Michael mengangguk. “Pohon dunia. Konon pohon itu adalah pusat kehidupan. Yah, sebenarnya memang bisa dikatakan begitu. Mau melihatnya?”

“Tentu!”

Saat itu Ellie belum bisa melihat peri. Ia hanya tahu, setelah memberi jawaban, Michael berbicara sendiri kemudian pemandangan di sekitar mereka berubah.

Awalnya, Ellie tidak pernah percaya tentang keberadaan sihir atau makhluk negeri dongeng. Tapi seiring bergulirnya waktu, Michael berhasil membuktikan bahwa dongeng yang beredar di masyarakat memang didasari oleh kejadian nyata.

Sekarang Ellie berada dalam sebuah goa, bukan tempat gelap dan mengerikan melainkan tempat yang terang dan indah. Dinding goa itu terbuat dari kristal beraneka warna, jalan tempat kaki Ellie berpijak diselimuti rumput hijau yang subur dengan kunang-kunang terbang menari-nari di atasnya. Meskipun di dalam goa, tapi Ellie dapat merasakan hembusan angin sejuk menerpa wajahnya.

“Apa yang kau lihat?” tanya Michael.

“Eh?” kekagumannya pada keindahan tempat itu membuat Ellie hampir melupakan kehadiran Michael. Gadis itu menoleh lalu menjawab, “Kristal berwarna-warni, rumput, dan kunang-kunang.”

“Kunang-kunang? Coba perhatikan lagi.”

Ellie menuruti perkataan Michael. Makhluk bercahaya itu memang terlalu besar bila dikatakan sebagai kunang-kunang, tapi makhluk apa yang bercahaya dan suka terbang mengitari rumput? Dengan seksama Ellie berusaha melihat inti dari cahaya itu. Ia terkejut saat berhasil mengenalinya.

“Tempat ini penuh dengan sihir,” jelas Michael. “Hanya orang-orang berhati bersih yang bisa melihat penghuninya. Itu bukan kunang-kunang, tapi peri, penghuni tempat ini.”

Seekor peri terbang menghampiri mereka.

“Selamat datang, Tuan Michael dan…” mata gadis mungil itu bertanya-tanya saat melihat Ellie.

“Aku Ellie.”

“Oh, kau bisa melihatku?” si peri tersenyum. “Pantas Tuan Michael mengajakmu, manusia yang bersih hatinya pasti selalu diterima di sini. Elain pasti senang menerimamu.”

“Elain?”

“Penjaga Yggdrasil,” jawab Michael. “Ayo, akan kukenalkan kau padanya.”

Dua orang itu berjalan semakin memasuki goa. Para peri yang mereka temui tersenyum seraya melambaikan tangan memberi salam. Peri-peri terlihat semakin banyak di bagian dalam goa, sampai akhirnya mereka tiba di tempat di mana tumbuh sebuah pohon raksasa.

“Jadi, ini Yggdrasil?” pikir Ellie sambil mengamati pohon raksasa di hadapannya. Pohon yang luar biasa, hanya dengan berdiri di dekatnya sudah bisa membuat Ellie menjadi senang dan bersemangat hingga merasa bisa melakukan apa pun.

“Nona Ellie?”

Ellie tersentak lalu menoleh. Mendapati seekor peri yang terlihat berbeda dari yang lain. Makhluk itu memancarkan cahaya hijau, berambut panjang yang juga berwarna hijau. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya.

“Aku Elain,” kata peri itu. “Senang berkenalan denganmu.”

“Eh ya, aku Ellie.” Ingin sekali Ellie mengulurkan tangan untuk bersalaman sebagai tanda perkenalan, tapi diurungkan niatnya. Sadar bahwa tidak mungkin menjabat tangan makhluk mungil yang bahkan lebih kecil daripada telapak tangannya.

“Kau menyukai Yggdrasil?”

“Ya,” ujar Ellie, matanya menyusuri pohon raksasa itu. “Pohon ini seperti memberikan semangat untukku, apa karena itu jadi disebut sebagai sumber kehidupan?”

“Itu salah satu alasannya,” jawab Elain. “Yggdrasil adalah sumber kehidupan kami, para peri. Kami tidak seperti manusia yang membutuhkan makanan untuk hidup. Yang kami butuhkan adalah semangat dan kebahagiaan. Dua perasaan itu bisa kami dapatkan darinya.

“Tapi, Yggdrasil bukanlah pohon yang benar-benar abadi. Ia bisa mati. Bila hawa negatif di dunia sangat pekat, maka Yggdrasil akan sulit tumbuh dan akhirnya mati.”

“Hawa negatif? Maksudmu kejahatan?”

“Ya. Dan bukan hanya itu, keputusasaan, ketakutan, serta semua perasaan yang membuat hati menjadi tidak nyaman, bisa menimbulkan hawa negatif.”

Untuk sesaat Ellie merenungkan jawaban Elain. Padahal setiap manusia pasti pernah melakukan kejahatan, merasa putus asa, takut, dan sebagainya. Ia jadi merasa bersalah, tindakan yang dirasa Ellie hanya berdampak ke dirinya sendiri, ternyata juga berpengaruh pada sumber kehidupan dari makhluk mungil yang cantik ini.

“Semua manusia memiliki sifat dasar untuk berbuat jahat dan baik,” lanjut Elain. “Sayangnya ada makhluk yang memanfaatkan sifat jahat manusia. Mereka senang melihat manusia melakukan kejahatan, atau bila melihat manusia menderita. Kami menyebut makhluk itu Satyr, setan kecil.

“Mereka bermulut manis, pandai menghasut dan bertampang seram. Tidak sedikit manusia yang takut bila melihatnya,” Elain mendesah lesu. “Sihir yang kami miliki memang tidak bisa menghalangi manusia dari hasutan Satyr, tapi setidaknya kami bisa mecegah manusia merasa takut dengan menghapus ingatan mereka yang pernah melihat Satyr.”

“Menghapus ingatan? Maksudmu membuat manusia melupakan seperti apa wujud Satyr?”

“Iya. Kau pernah mengalami de javu?”

Ellie mengangguk sambil memutar ingatannya.

“Kami yang melakukannya. Saat Satyr menunjukkan dirinya ke seorang manusia, kami mengusir Satyr lalu menghapus sebagian ingatan dari manusia itu dengan cara memutar kembali ingatannya ke waktu di mana ia belum melihat Satyr.”

“Pasti tugas yang sangat melelahkan,” renung Ellie. “Seandainya kami para manusia, sedikit lebih berani, pasti kalian tidak perlu bersusah payah memperhatikan kami.”

Elain tertawa kecil. “Tidak usah merasa bersalah begitu. Setiap makhluk hidup memiliki perannya masing-masing, dan peran kami adalah menjadi pelindung kalian.”

“Terimakasih,” kata Ellie dan dibalas senyum manis oleh Elain.

“Dan...” Ellie melirik Michael yang sedang duduk di kaki Yggdrasil, lelaki itu juga membalas pandangan Ellie lalu tersenyum. “Untukmu juga, terimakasih.”

***

Ellie memalingkan pandangannya dari dua gadis tadi, lalu mengambil sebuah buku. Melihat-lihat buku itu seperti seolah-olah tertarik, meski sebenarnya pikirannya masih mengarah pada kenangan kunjungannya ke Yggdrasil.

Semenjak saat itu Ellie jadi bisa melihat peri, dan sejak saat itu juga Ellie membulatkan tekat untuk belajar berani dan melawan rasa takut. Mungkin memang terdengar lucu. Ia hanya seorang manusia yang berusaha sendirian untuk meringankan beban para peri, tapi bila tidak memulainya dari diri sendiri lantas harus memulai dari mana?

-=FIN=-

NB:

- Untuk membaca karya peserta lain, silakan menuju akun Fiksiana Community

- Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline