Kambing (masakan), di kalangan masyarakat tertentu adalah menu syukuran atau perayaan.
Contoh saja perayaan hari kurban, tasyakuran aqiqah, sunatan. Hampir semua core-nya adalah kambing. Juga, tidak jarang kita jumpai, ketika ada teman/kolega yang mendapatkan peruntungan, atau jenis rejeki yang lain, mereka mensyukuri atau merayakannya dengan cara mentraktir sate.. sate kambing tentunya. Pada tataran itu, Kambing adalah cara bersyukur sekaligus merayakan.
Saya tidak sedang berbagi perkara kenapa kambing menjadi menu perayaan. Setidaknya tidak di kesempatan ini. Saya hanya hendak berbagi pengalaman makan makanan berbahan kambing. Khususnya, Tengkleng.
Sampai dengan lulus kuliah, saya tahunya tengkleng itu ya tengkleng a la Jogja. Tulang-tulang yang masih ditempeli daging, meski sedikit, kemudian dimasak yang entah dengan racikan bumbu apa, sehingga menjadi begitu nikmat diklamuti dan dibrakoti. Apa lagi di bagian tulang yang ada sumsumnya, disruput sluurrrppp, nikmat mana lagi yang sanggup engkau dustakan, wahai pemuja kolesterol.
Tapi..
Kenikmatan yang seperti itu seketika menjadi sangat berjarak, seiring dengan datangnya surat keputusan itu, saya harus meninggalkan Jogja beserta kenangannya. Krik.. Krik.. Krik.. Krik.. Krik.. Krik..
Oke, oke. Kenangan-kenangan itu saya bawa serta. Krik.. Krik.. Krik.. Krik.. Krik.. Krik..
Ho'oh, sampai sekarang masih saya bawa.. bangsaaattt..
Solo.
Adalah Jogja kedua saya. Kota yang mengenalkan saya kepada tengkleng yang benar-benar berbeda dengan yang ada di Jogja.
Tengkleng Jogja. Kuahnya kental coklat kehitaman. Mungkin berbahan santan, as you know, dia adalah kolesterol. Yah, meski herbal. Tapi itu kolesterol.