Pukul sepuluh pagi, para staff di sebuah kantor redaksi telah sibuk dengan tugas masing-masing. Begitu juga Rianti dan Freisa. Meja kerja mereka bersebelahan, itu cukup menguntungkan karena pekerjaan sebagai editor cerita pendek di majalah wanita 'Puan' bukan hal yang mudah, terkadang membutuhkan diskusi panjang untuk menentukan layak tidaknya cerpen itu tayang.
"Kisah dalam cerpen ini lumayan, Fre." ujar Rianti sembari menunjukkan dua lembar kertas yang baru saja dicetaknya. Suara Rianti sedikit berbisik agar tak mengganggu rekannya yang lain.
"Tentang wanita yang bernama Rani dan calon suaminya Reno, judulnya Cinta Berselimut Kabut," lanjut Rianti.
"Ya, aku sudah membacanya, saat memeriksa email masuk. Kiriman Lilik Fatimah. Kupikir bisa tayang untuk minggu ini," sahut Freisa bersemangat.
"Tapi ceritanya masih belum selesai, apa kita minta lanjutannya pada Lilik segera, Fre?" Rianti balik bertanya.
Freisa paham masalah itu, Majalah Puan sudah menyediakan spot cerita bersambung dan terisi penuh sampai bulan ke enam dari penulis tetap Rifan Nazhip. Agak menyulitkan untuk memasukkan cerbung milik Lilik, artinya harus menunggu sampai Bulan Juli.
"Bagaimana kalau kamu saja yang selesaikan kisahnya, cukup dua tiga paragraf, lalu tayang!" seru Rianti bersemangat.
"Hey, mana boleh? Itu hak penulis. Kisahnya jadi lain. Apalagi kalau aku yang disuruh nulis lanjutannya," timpal Freisa dengan kening berkerut.
"Memang kamu bakal bikin kisah lanjutan seperti apa, sih?" tanya Rianti penasaran. Tangannya menyentuh dagu Freisa lembut.
Tanya jawab seperti itu seringkali mereka butuhkan, selain kepentingan kerja juga membantu melepaskan tekanan kerja apalagi kalau sudah DL. Dead Line bagi mereka kadang benar-benar seperti menemukan jalan buntu yang membuat mereka mati kutu.