Sambil menunggui kedua anak, abang dan adik berenang, saya pilih tempat yang agak teduh. Membuka-buka kembali tulisan-tulisan yang telah dimuat di note. Ada tulisan yang telah telah sepenuhnya diedit dan diupload ke Kompasiana, ada juga yang masih sepotong-sepotong hingga tak jelas akan jadi apa dan buat apa. Sebuah contoh, catatan yang saya buat dan belum selesai, tanggal 22 Desember:
Dialog Pagi
"Apa arti cinta bagimu?"
tanya dedaunan hijau menyapa lembut sang embun.
Embun berbisik mesra, "Kemurnian. Cinta adalah diriku nan apa adanya. Adakah kau temukan selain bening?"
Daun bergumam, "Pantas saja, aku mencintaimu.
Seketika embun bersinar semakin terang.
....
Dan setelah menuliskan ini, saya tidak tahu akan jadi apa kelak tulisannya. Hanya saya simpan dahulu kemudian saya pilih menuliskan gagasan lain yang dirasa lebih matang dan bisa diselesaikan.
Lama kelamaan saya sering menulis untuk disebar di media sosial maupun sengaja dibuat untuk dibukukan. Bahkan beberapa teman yang akan membuat buku, sengaja meminta testimoni atas buku yang mereka buat.
Kebiasaan baru pun muncul, rajin membuka note dan tuliskan apa saja yang terpikirkan saat itu juga. Karena mengingat gagasan awal itu sangat sulit bahkan saya hampir tak bisa menuliskan hal yang sama persis dua kali, padahal jaraknya hanya berdekatan, sekira lima menit saja.
Ternyata menulis itu sebuah "kegilaan" tersendiri. Bila tak segera dipenuhi akan membuat perasaan serba salah dan tak puas. Bayangkan jika ada ide yang dirasa cukup baik lalu tak menemukan sesuatupun untuk menuangkannya hingga ide itu lenyap rasanya seperti kehilangan barang yang amat dicintai dan tak mungkin ditemukan kembali.
Terus-terang saja bahwa menulis itu bagi saya adalah kebutuhan dasar seperti halnya makan, minum dan berpakaian. Hanya, saya lebih sanggup berpuasa tak menulis berhari-hari bila sedang mandeg ide ketimbang berpuasa makan dan minum.
Saya bukan penulis profesional. Sebagai guru ada tuntutan yang saya harus penuhi yaitu kompetensi akademik yang bisa dipenuhi bila guru mau menulis. Bila kita menulis sesuatu pastilah kita membaca banyak hal. Menulis dan membaca sebenarnya kebutuhan pokok guru-guru agar kompetensinya meningkat.
Banyak artikel tentang tulis-menulis yang telah saya baca, rata-rata menekankan tak perlu takut pada penilaian orang lain, sepanjang yang ditulis memenuhi koridor tulisan yang baik dan berusaha untuk terus memperbaiki tulisan agar lebih menarik minat pembaca.
Tulisan ini sebenarnya dibuat karena keprihatinan saya terhadap literasi para guru yang sangat sedikit sekali minatnya dalam menulis. Sebuah contoh, Dinas Pendidikan Kota Bandung telah menghimbau agar para guru menerbitkan tulisan bertemakan literasi dan pendidikan baik berupa esai, puisi dan cerpen untuk dibukukan.
Ternyata sampai satu bulan berlalu setelah tenggat yang ditentukan, kumpulan tulisan belum bisa diterbitkan karena minat menulis para guru masih jauh panggang dari api.