Lihat ke Halaman Asli

Kesetiaan Pelangi (Bag. 5 - Tamat)

Diperbarui: 2 Juni 2017   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepanjang perjalan menuju Bandung, tak henti aku memikirkan kehidupan Ming. Deru kereta yang melaju dengan kecepatan diatas 100 km/jam saja tak samasekali kudengar. Untunglah kereta sangat sepi. Hingga dengan bebas aku membolak-balik kertas putih berisikan tulisan tangan Ming yang indah. Tulisannya meliuk-liuk seperti kata-katanya juga indah namun penuh kepedihan.

Suratnya kubaca berulang kali, ini keempat kalinya, aku takut melewatkan sesuatu didalamnya. Karena saat membaca yang pertama kali, air mataku mengalir deras tak terbendung. Hingga tulisan yang kubaca menjadi kabur bersaing dengan derasnya air mata.

DearPelangi,

Aku berharap surat ini sampai ke tanganmu, segera setelah kau tahu apa yang aku lakukan, menghabisi nyawaku sendiri.

Perasaanku, remuk redam saat kau tak mengacuhkan aku, padahal semua ini kulakukan untukmu.

Kau tahu Pelangi? Hanya dirimu yang mau menerimaku apaadanya. Perubahan pada tubuhku yang drastis, ternyata mengundang berbagai petaka. Aku memuaskan dendamku dengan mendekati banyak wanita. Kuharap dengan begitu. Aku bisa melupakanmu. Nyatanya, semakin banyak yang kukenal, semakin aku merindukanmu.

Pelangi...

Aku tak bisa menulis lagi, pikiranku buntu. Bahkan aku tak mengerti buat apa Tuhan menciptakan diriku seperti ini. Kekayaanku yang berlimpah hanya siksaan bagiku. Aku tak bebas untuk pergi kemanapun aku mau, semua diatur dengan protokol yang sangat ketat. Bahkan jam tidurku, pola makanku, baju yang kukenakakan, rekan yang harus kutemui, pertemuan bisnis basa-basi yang kuhadapi.

Ah...

Kebebasanku terampas. Aku terbelenggu. Hatiku sakit dan kau yang selama ini menjadi obat bagiku, menjauhiku sedemikian rupa.

Kau benar! Aku gila, telah menukar kedamaian yang kudapat dari tubuh mungilku dengan ketenaran yang tak seberapa tapi sangat menyiksa. Aku tahu Pelangi, didepanku semua nampak hormat, padahal dibelakangku, aku sering mendengar bisikan mereka, Si Cacat yang beruntung! Dan banyak kata lainnya yang sangat menyakitkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline