Lihat ke Halaman Asli

RUU Pilkada & Politik "Non Blok" ala SBY

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Respon SBY terhadap RUU Pilkada yang ditayangkan di youtube memberi gambaran jelas,bahwa Partai Demokrat dan pendapat pribadi SBY sedang memainkan politik "Non Blok" terkait analisis SBY yang meyakini bahwa dalam lima tahun kedepan pertarungan kubu Koalisi Merah Putih dan kubu Jokowi-JK akan semakin panas.

Politik "non blok" sebenarnya bukan barang baru yang menjadi pilihan SBY tersebut. Dalam era Perang Dingin,pertarungan kekuatan dunia blok Timur (yang dipimpin oleh Uni Soviet waktu itu) dan blok Barat (yang dipimpin oleh Amerika Serikat),sekelompok negara membuat sebuah kekuatan yang tidak memihak kedua blok tersebut,yaitu mereka menamakan diri sebagai negara-negara dalam wadah "Gerakan Non Blok"  (=GNB)

Memang pada saat perang dingin,peran Gerakan Non Blok sering mendapatkan pujian "basa-basi politik" dari kedua blok tersebut sebagai "penyeimbang" kekuatan. Sayangnya dalam prakteknya,negara-negara yang tergabung dalam "Non Aligned Movement" seringkali bermain mata dengan salah satu blok untuk memetik keuntungan dirinya sendiri. Dan memang dalam era perang dingin,negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non Blok bebas ber manuver dengan politik "bebas-aktif" yang dianutnya.

Sayangnya,setelah era perang dingin usai,dimana Jerman bersatu kembali,RRC menjadi negara "komunis kapitalis" serta Uni Soviet sudah terpecah-pecah menjadi negara-negara seperti Rusia,Ukraina,dll ; Maka negara-negara "non blok" sering bertemu hanya untuk "reuni" mengenang masa-masa "enak" ketika bisa "bermain mata" dengan kedua blok tersebut.

Pilihan SBY yang tidak memihak salah satu kubu,baik kubu KMP dan kubu Jokowi-JK sebenarnya ingin memainkan politik "non blok" yang sudah menjadi bagian sejarah dunia tersebut. Bila itu yang menjadi pilihan SBY,maka harus disadari oleh SBY dan para pendukungnya,maupun seluruh rakyat Indonesia ; Bahwa ada sebuah perbedaan mendasar antara politik "non blok" dari negara-negara yang tergabung dalam GNB dengan politik "non blok" di dalam situasi politik di Indonesia ini.

Negara-negara GNB masing-masing mempunyai kedaulatan negara dan Undang Undang yang mengatur kedaulatan negara-negaranya,sehingga didalam memainkan politik "non blok" mereka sebenarnya membentengi negaranya masing-masing untuk tidak di intervensi oleh negara-negara yang tergabung dalam Blok Timur dan Blok Barat. Namun di dalam negara Indonesia,bilamana situasi politik yang ada sekarang tetap dipertahankan dengan dua kekuatan kubu,yaitu KMP dan Jokowi-JK serta ada "SBY" yang mencoba menjadi kekuatan "non blok" ; Maka ancaman dis-integrasi bangsa akan terjadi dalam waktu 5 tahun kedepan,kenapa? Sebab sudah terlihat sekali ada kubu yang masih tidak menerima kekalahan dalam Pilpres 2014 berusaha dengan segala cara dan argumentasi yang disampaikan ingin mengubah perjalanan demokrasi yang sudah dibangun oleh Pemerintahan SBY selama 10 tahun ini. Mereka ini berseberangan dengan mayoritas pendapat rakyat (hasil survei LSI menyatakan 80% lebih rakyat menghendaki Pilkada Langsung),secara khusus dalam pilihan Pilkada Langsung & Pilkada oleh DPRD,mereka inilah yang sekarang bisa merongrong kedaulatan negara , yaitu kemungkinan perpecahan di level rakyat dan bisa menimbulkan konflik horisontal . Ancaman kedaulatan negara dari dalam negeri lebih berpotensi membuat pecahnya persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Perbedaan di dalam demokrasi itu baik bila "politik" yang dimainkan tidak mengarah kepada rusaknya kedaulatan negara,terlebih ancaman di dalam negeri yaitu perpecahan di tingkat horisontal ; Kecenderungan situasi politik yang ada sekarang ini sudah mengarah kepada "unjuk kekuatan fisik" katimbang "kekuatan politik" ; Lihat saja bagaimana demo pengerahan massa ketika MK sedang mengadili hasil Pilpres 2014 yang diperkarakan oleh kubu KMP. Gambaran "kekuatan otot" sangat nampak sekali,dan bahkan seorang Menkopolhukam pun nampak "tidak enak hati" ketika secara terbuka meminta maaf kepada massa kubu KMP yang terkena gas air mata & semprotan "meriam air" dari petugas keamanan. Bagaimana sebuah "kekacauan" dibubarkan paksa oleh petugas keamanan,kemudian sang Menkopolhukam harus minta maaf...?

Bilamana kubu Jokowi-JK memerintah dan pertarungan kekuatan masih saja berlangsung,maka tidak terbayangkan bila sebuah kekuatan "otot" melawan kekuatan negara? Demi sebuah alasan "mengganggu kedaulatan negara" bisa saja pengerahan kekuatan pasukan keamanan negara bertindak lebih represif. Namun bila tidak dilakukan tindakan-tindakan nyata "mendinginkan" kedua kubu oleh SBY mulai dari sekarang ,maka kekuatan yang seharusnya menjadi kekuatan "penyeimbang" malah akan menjadi kekuatan "perusak" demokrasi. Sikap politik SBY sebaiknya tidak "non blok" tetapi masuk kedalam salah satu kubu yang ada. Bila dirasakan SBY tidak cocok di kubu Jokowi-JK,maka sebaiknya SBY menjadi "penyeimbang" dan "rem" bagi kubu KMP yang terkesan di mata masyarakat sebagai kubu yang tidak tulus menerima kekalahan. Tetapi bila SBY merasa "sreg" dengan kubu Jokowi-JK,maka kubu KMP dipastikan akan menjadi koalisi seperti yang dulu pernah dibuat oleh PDIP yang berada diluar pemerintahan. Ramai-ramai & panas,tetapi bisa dikendalikan.

SBY harus (tetap) menjadi negarawan,bukan politisi yang mencari aman dengan politik "non blok" yang disampaikan di youtube kemarin. Berpihak bukan berarti harus ikut arus,berpihak itu bisa memberikan kontribusi demi menyelamatkan kedaulatan negara Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline