Lihat ke Halaman Asli

Tercabiknya Hak Beribadah [bukan Mendirikan Tempat IBadah lho!]

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Toleransi adalah kata yang mahaindah ketika didengarkan. Dengan perbedaan-perbedaan yang ada, masing-masing berusaha menjaga kerukunan dan kedamaian sebagai makhluk. Meyakini sebagai diri yang berbeda dan sekaligus berada dan menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki ciri khasnya masing-masing adalah sebuah pilihan bijak.

Beberapa hari yang lalu, aku mendengarkan kotbah dari seorang ustadz muda, KH Khosim Mustofa. Seorang kyai muda yang cerdas berbicara mengenai makna hidup bersama dalam masyarakat. “Setiap orang beragama harus fanatik sekaligus toleran. Fanatik itu untuk ke dalam diri, sementara toleran itu aksi keluar,” tegasnya.

“Perbedaan itu bukan untuk dijadikan gontok-gontokan, apalagi menyerang kelompok lain. Itu semuanya mestinya menantang keimanan kita masing-masing. Ketika kita melihat orang lain sedang sembahyang dan kebetulan tidak sama dengan cara kita sembahyang, apakah yang akan kita buat? Apakah kita akan menghujatnya dan menyuruhnya pergi dari kampung kita yang mayoritas muslim ini? Jika itu yang kita buat, bodoh. Mestinya situasi ini menjadikan kita bertanya: apakah aku sudah sembahyang? Mayoritas memang menjadikan kita anonim, bersembunyi dalam kelompok. Kalau sudah memakai sarung dan peci lalu merasa gagah. Kalau sudah memakai jilbab lalu merasa suci. Belum tentu kalau itu hanya dipakai untuk menunjukkan kepada orang bahwa kita ini muslim, tapi sholat aja ga pernah.”

Luar biasa. Aku sendiri merasa tersindir ketika mendengarkan kotbah beliau. Terasa menyejukkan. Alangkah damainya ketika itu semua terjadi.

Sayang, belum genap seminggu aku mendengarkan kata-kata itu, dibagian lain di negeri ini terjadi yang kebalikannya. Ada 2 peristiwa yang terjadi di dua daerah berbeda di Jogjakarta. Satu kejadian di Bantul dan satu kejadian di Sleman. Berbeda tempat namun peristiwanya hampir sama.

Untuk memperdalam iman, umat katolik tidak hanya pergi ke gereja, namun juga mengadakan ibadah di lingkungan. Dalam ibadah itu banyak hal bisa dibuat. Misalnya dengan aneka doa atau pendalaman iman. Itulah yang terjadi di dua tempat itu. Umat berkumpul di rumah salah satu umat untuk mengadakan pendalaman. Ketika itu, mereka mengadakan pendalaman Kitab Suci. Tapi apa yang terjadi, kegiatan beribadah itu dihentikan oleh sekelompok orang yang menamakan diri mereka Forum Umat Islam [apakah Anda yang Muslim juga termasuk di dalamnya?]. Maksud dari kedatangan mereka adalah menghentikan kegiatan peribadatan tersebut dan memaksa mereka untuk menandatangai surat perjanjian untuk tidak akan melakukan kegiatan seperti itu lagi.

Ketika mendengar berita itu, aku langsung bertanya dalam hati: sejak kapan kegiatan beribadah dilarang? Apakah kegiatan beribadah juga harus mempunyai surat ijin layaknya mendirikan tempat ibadah? Jika peristiwa ini dilakukan oleh pemerintah, tentu diskusi menjadi lebih mudah. Tapi kalau aksi seperti ini dilakukan oleh sipil? Ga bisa membayangkan aku....

Apakah UUD itu hanya barisan kalimat tanpa makna?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline