Lihat ke Halaman Asli

teguh wiyono

guru SMAN 1 Losari dan hypnotherapist

Puisi | Lik Min dan Sarung Kusutnya

Diperbarui: 24 April 2020   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.bangsaonline.com

Adzan Isya baru saja berlalu ketika Lik Min duduk di lincak bambu di depan rumahnya. Derit suara bambu yang sudah usang membuat telinga linu. Seperti hatinya yang juga berderit dihimpit semua kebutuhan yang semakin melambung tinggi.

Sebentar kemudian dia menghela nafas panjang. Pikirannya menerawang jauh menembus gelapnya malam. Berputar diantara bintang gemintang yang meringis. Gelap tanpa sinar cahaya.

Disandarkannya tubuhnya yang kering kerontang seperti tanah sawah di musim kemarau di dinding kayu rumahnya. Lelah seharian berjualan keliling kampung. Hanya mengandalkan otot kaki yang lusuh. Termakan oleh teriknya matahari. 

Tak seberapa hasil jualan hari ini. Warga hang biasa membeli dagangannya pun sembunyi takut corona. Masih banyak dagangan yang tersisa. Pilu hati ini teriris.

Seiring dengan lantunan iqomat masjid, Lik Min pun beranjak dari lincaknya. Dipandanginya sarung usang yang tinggal satu itu. Hanya satu-satunya sarung yang ia punya. Yang telah menemani bermandi peluh.

Sarung itu telah kusut dimakan waktu. Mungkin sudah tidak berwujud sarung lagi. Orang Jawa menyebutnya gombal. Tak apalah masih bisa digunakan untuk bersujud mengadu pada sang Khalik. 

Langkah kaki Lik Min gontai menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Diiringi oleh semilir angin malam menghantarnya untuk mengadu pada Yang Maha Kuasa. 

Penulis : Teguh Wiyono

KBc-50




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline