Pagi masih gelap gulita di luar, adzan subuh baru saja terdengar merdu ketika Tumini bangun tidur. Dibukanya tirai kelambu kamarnya yang sudah usang itu. Alunan puji-pujian terdengar dari surau terdekat. Hingga jika dirasakan dengan hati maka subuh ini terasa khidmat.
"Ah sudah subuh to ini", gumamnya.
Dilihatnya ranjang anaknya yang paling kecil, masih tertidur pulas. Sebentar dia tersenyum "Ah si ganteng masih pulas", kembali dia bergumam.
Sejurus kemudian dia menatap ke luar jendela, lampu jalanan yang masih menyala terang di tengah gelapnya pagi. Mentari masih tertidur pulas di peraduannya.
Sebentar kemudian dia menghela nafas, ah andai saja suaminya masih ada di sisihnya mungkin dia tidak merasakan sesusah ini. Kini dia harus berjuang sendiri menafkahi kedua anaknya yang masih kecil.
Si kecil masih terlalu kecil untuk mengerti. Apa yang terjadi pada orang tuanya. Di kecil masih terlalu kecil untuk bisa membantu orang tuanya mencari nafkah. Ya, dia berjuang seorang diri di tengah ganasnya dunia.
Dunia kini yang sudah banyak berubah, dunia kini yang sangat kejam. Disingsingkannya lengan baju, lemah tangannya menyibak hari-hari. Menapaki waktu yang semakin tua. Semua yang sudah lewat tidak akan pernah bisa kembali. Aku harus kuat
"Mak, apakah ini sudah pagi?", tanya Anton anaknya yang paling kecil.
"Wah, Anton sudah bangun ya? Sini dekat sama Emak. Ini sudah pagi sayang", Tumini bangkit sambil mendekati anaknya.
"Mak, sudah sholat subuh?", Anton bertanya
"Belum sayang, yuk kita Sholat dulu". Emaknya menyahut sambil menggandeng tangannya.