Lihat ke Halaman Asli

Teguh Subrata S.IP

Open mind for a different view.

Krisis Konsep Berfikir Kepemimpinan

Diperbarui: 6 Desember 2021   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kehormatan intelektual apabila seorang Calon Pemimpin mampu bertarung melalui ide dan gagasan yang konseptual, rasional, koheren, komprehensif, reflektif, dan kritis dalam pertarungan yang di labeli dengan judul "Membangun", masih katanya.Hipotesisnya begini, Pembangunan akan jauh dari realisasi bila fikiran, nalar dan logika rasional dalam individu-individunya saja belum terbangun secara benar.

PR kita adalah membangun dan membenahi dulu konsep berfikir yang benar, baru membicarakan perubahan, pembangunan dan semacamnya. Tidak bermaksud memberitahu, hanya saja ini adalah logika dasar yang seharusnya terbesit didalam pikiran orang yang berpikir.

Memang sedikit terdengar terlalu banyak poin yang harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin yang arif, baik dalam fikiran maupun tindakan. Tapi itu hanya beberapa saja dari banyak faktor yang seharusnya dimiliki (must be have) oleh seorang pemimpin, dan faktor-faktor itu pulalah yang membedakan bahwa seseorang "LAYAK" untuk disebut sebagai pemimpin sekaligus menjadi pembeda yang cukup kontras antara pemimpin dan yang akan dipimpin.

Jika beberapa hal fundamental dan mendasar seperti diatas saja tak mampu terpenuhi, lantas apa bedanya dengan saya yang biasanya menyeduh kopi di warung kopi paling plural ini, saya yang tahu bahwa saya tak tahu apa-apa ini?

Politik disini terkesan tidak lagi, seperti apa yang dikatakan Mouffe, menjadi ajang mengadu gagasan, ide dan nilai.

Ketika pertarungan politik tidak menghadirkan antagonisme ide, gagasan dan nilai yang diperjuangkan, maka politik tidak lebih dari sebuah pertarungan memperebutkan kekuasaan (lagi-lagi).

Politik kekuasaan, hampir dapat dipastikan hanya akan berisikan praktik-praktik nista seperti politik uang, eksploitasi sentimen identitas hingga kampanye negatif. Ketika itu terjadi, maka pada dasarnya tidak ada lagi politik, yang ada hanyalah pseudo-politics (politik semu). Dalam situasi yang demikian itu, politik menjadi kehilangan ruh, magis dan esensinya.

Buang jauh-jauh pikiran untuk Maju jika masih menganut faham kebe(Rp)ihakan dan political consumptive. You know what I mean.
Peace out!

Teguh Subrata, S. IP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline