Lihat ke Halaman Asli

Beda Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru di Jerman dan di Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendapat kabar yang kurang menyenangkan dari adik saya tentang hasil SNMPTN 2015, ada perasaan kecewa pada diri saya. Sebagai kakak seharusnya saya bisa membantu dan memberi masukan lebih sering. Namun apa daya, terpaut jarak 12 ribu kilometer saya hanya bisa menghubunginya lewat skype atau line. Itupun jika tidak sibuk. Kekecewaan ini juga membawa saya kembali ke masa lalu, dimana saya juga mengalami hal yang sama pada jalur masuk (yang dulu masih bernama) SNMPTN Undangan 2012. Tahun itu merupakan tahun kedua diselenggarakannya penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, setelah sebelumnya diperkenalkan pada tahun 2011. SNMPTN Undangan atau yang sekarang berganti nama menjadi SNMPTN merupakan sistem penjaringan berdasarkan prestasi akademis. Sistem ini hanya menggunakan nilai rapor, nilai UN dan piagam prestasi yang dimiliki oleh siswa tanpa ujian tertulis dan/atau keterampilan. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="SNMPTN 2015"][/caption] 3 tahun yang lalu saya mencoba mendaftarkan diri ke salah satu prodi di kampus negeri ternama di Bandung, Institut Teknologi Bandung. Dengan nilai rapor dan UN seadanya ditambah prestasi yang tidak berhubungan dengan jurusan tersebut, saya ditolak. Kecewa bercampur senang saya rasakan kala itu. Kecewa karena perjuangan saya selama 3 tahun tidak sesuai standar ITB. Senang karena sebelumnya saya sudah mempersiapkan banyak hal untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Yang mana jika saya diterima di ITB dan saya tidak saya ambil, tentu adik-adik dari sekolah saya akan di blacklist, begitulah menurut isu-isu yang beredar. Dengan berbekal nilai yang pernah gagal dalam ajang penerimaan mahasiswa baru di Indonesia dan tekad untuk menjadi lebih baik, saya pun mengadu nasib ke negeri Panzer. Yang menarik, setelah di konversi berdasarkan standar nilai Jerman, nilai yang saya bawa dari Indonesia adalah 1,3 (Jerman menggunakan skala penilaian 1 sampai 4, yang mana 1 adalah sangat bagus, dan 4 mencukupi). Setelah melalui kuliah penyetaraan Studienkolleg atau semacam foundation selama setahun sebagai syarat awal untuk melanjutkan studi di Jerman, nilai saya meningkat 1 poin menjadi 1,2. Nilai yang dibutuhkan untuk melamar universitas adalah 50% dari nilai yang didapat di negara asal dan 50% dari nilai yang didapat saat ujian akhir Studienkolleg. Ketika itu saya berjuang habis-habisan untuk meningkatkan nilai yang saya dapatkan, karena saya tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Dan bersyukur sekali usaha saya terbayarkan. Saya berhasil di terima di salah satu Universitas ternama di Jerman yang berhasil pula menghasilkan jebolan sekaliber Mantan Presiden kita, B. J. Habibie. Awalnya saya berpikir, diterimanya saya dikarenakan nilai yang mendekati sempurna tersebut. Setelah saya memulai perkuliahan dan bertanya pada teman-teman, barulah saya tahu bahwa orang yang mendapatkan nilai lebih besar dari 2 (range 2 - 3) pun dapat diterima. Bahkan teman dekat saya yang hanya bermodalkan nilai 3 pun mendapatkan kesempatan yang sama, menghadapi kerasnya bangku perkuliahan. Tentu ada alasan dibalik semua itu. Penerimaan terbatas dan tidak terbatas Di Jerman terdapat 2 jenis penerimaan mahasiswa yaitu penerimaan terbatas dan tidak terbatas. Sistem ini tergantung Universitas dan jurusan yang diambil. Misalnya, jurusan teknik mesin di RWTH Aachen memberikan batasan jumlah penerimaan mahasiswa baru, tapi tidak pada TU Dresden. Tetapi RWTH Aachen juga menawarkan beberapa jurusan yang bisa didapatkan tanpa melalui proses seleksi, contohnya elektro teknik. Untuk lolos dalam seleksi penerimaan terbatas, mahasiswa harus dapat melampaui standar nilai yang dikenal dengan nama Numerus Clausus (NC). NC adalah nilai rata-rata pelamar yang sudah mendapatkan kursi. NC selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari kualitas pelamar pada tahun tersebut. Dengan kata lain, yang dibatasi sebenarnya adalah jumlah kursinya. Pada umumnya sistem ini di terapkan jika jumlah pelamar melampaui kapasitas yang disediakan Universitas, sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang duduk di tangga dan mengurangi kenyamanan berkuliah. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana Sesak Auditoriom "]

[/caption] Sedangkan untuk penerimaan tak terbatas, mahasiswa hanya perlu mengirimkan dokumen-dokumen yang diminta sebagai proses administrasi. Jika seluruh dokumen dinyatakan lengkap, mahasiswa pasti diterima di jurusan dan universitas bersangkutan tanpa harus melalui proses seleksi terlebih dahulu. Sudah dapat dipastikan bahwa jumlah pelamar tidak akan melampaui jumlah kursi yang disediakan. Yang menentukan sebuah universitas memberikan batasan penerimaan pada jurusan tertentu tentu berdasar pada beberapa faktor. Faktor utama adalah reputasi. Semakin tinggi reputasi sebuah universitas, tentu semakin banyak peminatnya. Meskipun pada dasarnya seluruh universitas di Jerman memiliki kualitas yang sama bagusnya, ada banyak hal yang dijadikan tolok ukur calon-calon mahasiswa. Misalnya kualitas pengajar dan fasilitas penelitian, jebolan-jebolan yang dihasilkan universitas tersebut, serta kesempatan untuk melanjutkan karir setelah lulus dari universitas bersangkutan. Selain itu posisi universitas itu sendiri menjadi bahan pertimbangan para pelamar. Semakin strategis kota tempat menuntut ilmu, tentu semakin banyak kesempatan yang didapatkan, entah untuk sekedar bekerja sambilan atau mengenal banyak orang dari berbagai negara seperti yang saya rasakan di Aachen. Aachen terletak di perbatasan 3 negara yaitu Jerman, Belgia dan Belanda. Iklim internasional tentu sangat meresap disini. Meskipun reputasi suatu universitas bagus namun jika letaknya kurang strategis, di Jerman Timur misalnya, tentunya peminatnya akan jauh lebih sedikit ketimbang universitas yang terletak di Jerman Barat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jerman Timur kurang diminati para calon-calon mahasiswa. Yang terakhir, keterbatasan isi kantong mahasiswa juga membuat mahasiswa cenderung memilih kota dengan biaya hidup terjangkau dibandingkan kota yang kualitas universitasnya berbanding lurus dengan biaya hidup, TU München misalnya. [caption id="" align="aligncenter" width="484" caption="Posisi Aachen yang sangat strategis"]

[/caption] Seluruh siswa mendapatkan kesempatan yang sama Kesimpulan yang dapat saya ambil dari sistem penyaringan mahasiswa di Jerman adalah bahwa setiap siswa diberikan kesempatan yang sama merasakan kursi panas perkuliahan. Calon-calon mahasiswa disini tidak dipersulit diawal, sehingga mereka yang nilainya kurang memuaskan tetap dapat melanjutkan cita-citanya dengan tersedianya sistem penerimaan tidak terbatas. Hal ini juga sangat menguntungkan calon mahasiswa yang masih ragu akan jurusan yang akan mereka ambil. Mereka bisa saja mencoba mengikuti kuliah di jurusan A untuk meyakinkan diri apakah mereka memang mampu mengikuti dan suka dengan jurusan tersebut. Hal ini mungkin, karena di semester pertama universitas tidak hanya mengajarkan mata kuliah mendasar (atau mengulang materi SMA) tetapi juga sudah mulai menjurus cukup dalam. Di jurusan saya juga terdapat mata kuliah 1 kredit poin „Pengenalan Teknik Mesin“ yang memberikan gambaran cukup jelas tentang prospek kedepannya. Bagi mereka yang kurang tertarik tentu saja bisa pindah di semester depan, tentunya tanpa perasaan “sudah terlanjur dan kalau coba-coba ikut seleksi lagi belum tentu dapat diterima, jadi jalani sajalah”. Alhasil orang yang memiliki perasaan seperti itu akan tersisksa seumur hidupnya, menjalani sesuatu yang tidak dia sukai. Sekian yang dapat sampaikan tentang proses penerimaan mahasiswa baru di Jerman. Menurut informasi, pemerintah Jerman terus berusaha menambah kapasitas Universitas dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Semoga Indonesia kedepannya juga dapat melakukan hal yang sama. Selain itu pesan saya untuk adik-adik (terutama adik saya tercinta) yang gagal dalam SNMPTN, jangan patah semangat. Masih ada SBMPTN dan ujian masuk mandiri. Percayalah jika kalian gagal di suatu tempat, Tuhan telah menyiapkan tempat lain yang jauh lebih baik untuk kalian semua. Semoga kisah serta informasi yang saya berikan cukup informatif dan inspiratif. Salam Kompasianer, Putu Teguh Satria Adi Aachen, 10 Mei 2015 Baca juga: Makna Sebuah Orientasi Dunia Perkuliahan Barat Ujian Akhir Kuliah Penyetaraan di Jerman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline