Lihat ke Halaman Asli

Sisi Lain Kota Paris

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak kenal Paris, salah satu kota yang menjadi pusat mode dunia ini pasti tidak asing lagi di telinga para pembaca. Ibukota Perancis yang terkenal dengan julukan kota paling romantis ini tidak pernah luput dari salah satu destinasi idaman kaum adam maupun hawa. Entah untuk sekedar travelling, menuntut Ilmu layaknya Ikal dan Arai dalam tetralogi laskar pelangi, maupun tujuan bulan madu pasangan suami istri. Jika saya bertanya pada kalian tentang Paris, yang pertama terlintas dipikiran kalian pastilah menara Eiffel, mungkin disusul dengan Gapura Kemenangan (dalam bahasa Perancis disebut “Arc de Triomphe”) dan si Mona Lisa dengan senyuman magisnya. Kali ini saya tidak ingin membahas tentang pesona keindahan dan kemegahan kota tersebut, yang mana bisa kalian cari sendiri di google. Yang ingin saya bahas adalah sisi lain dari kota metropolitan terpadat Eropa, yang mungkin belum kalian ketahui. Kebetulan saya bersama 3 orang teman mendapat kesempatan berlibur di Paris selama beberapa hari pada akhir bulan Maret lalu. 1.Paris Pinggiran Pertama kali kami sampai di Paris (berangkat dari kota Aachen, Jerman dengan menumpang), saya cukup terkejut dengan suasana kota tersebut. Luapan emosi kekaguman yang saya harapkan saat menginjak kota Paris pertama kali, tidak saya dapatkan. Saya merasa kembali ke Asia. Bagaimana tidak, banyaknya jumlah motor yang meliuk-liuk menerobos kemacetan, suara klakson penanda ketidaksabaran dan pengendara yang tidak mau mengalah sangat meyerupai suasana di Asia. Infrastruktur juga tidak begitu rapi dan tak tertata. Tidak seperti di pusat kota, pinggiran kota Paris bisa terbilang kotor apalagi kala itu sesaat setelah hujan lebat. Jalanan becek dan sampah berserakan dimana-mana. 2.Walking like a Parisian Mungkin jika pembaca pernah membaca artikel atau melihat video di youtube tentang “How to be a Parisian” pasti kalian mengetahui apa yang membuat Parisian itu berbeda dengan orang Eropa pada umumnya. Ya perjalanan kami kali ini ingin membuktikan sebagian dari rumor tersebut. Awalnya saya pikir, sebagai turis mungkin agak sulit untuk mengamatinya, nyatanya tidak. Parisian yang cenderung memiliki jam karet seperti orang Indonesia (tidak on-time) sepertinya merasa selalu terlambat. Bagaimana tidak, dalam berjalan seolah-olah ada saja yang mereka kejar. Tidak santai, buru-buru, dan kurang peduli lingkungan sekitar. Padahal frekuensi subway-nya cukup tinggi. Tidak hanya di jam-jam sibuk tapi juga saat tengah malam di hari kerja. Satu contoh kecil yang kami temui adalah ketika keluar dari subway ada seorang ibu-ibu yang meminta bantuan untuk mengangkat kereta bayinya. Mungkin sudah ratusan orang lewat begitu saja tanpa menganggap keberadaan ibu tersebut. Hingga akhirnya kami datang, dan ikut-ikutan lewat begitu saja, eh membantu ibu tersebut. 3.Tata Krama Menyebrang Ketika lampu penyebrangan jalan sedang hijau, tentu saja kita harus menyebrang (dengan langkah panjang dan cepat seperti Parisian pastinya). Tapi bagaimana bila lampu sedang merah? Tengok kiri kanan, jika situasi cukup aman, menyebranglah layaknya kalian tidak melakukan kesalahan apa-apa. Itulah yang kami amati dari cara menyeberang para Parisian. Pada hari pertama kami masih ragu-ragu untuk melakukannya, di hari kedua jiwa Parisian sudah tertanam dalam diri kami. Namun jika tidak ada lampu penyebrangan, sebaiknya kalian hati-hati, karena mobil dan skuter dengan kecepatan tinggi siap menyambar kapan saja. Sebagai tambahan, hati-hati berjalan di trotoar. Di kota tersebut ada juga pengendara motor yang mengambil jalur pejalan kaki.

[1.] Pedestrian crossing the street

4. Berburu Mona Lisa Si cantik dengan senyum yang menyihir siapapun yang memandanginya juga merupakan tujuan utama para pengunjung kota Paris. Lukisan tua yang berusia sekitar 500 tahun itu memang penuh misteri yang sampai sekarang belum terkuak. Mona Lisa terpajang di Museum Louvre yang merupakan museum seni terbesar dan paling banyak dikunjungi di dunia. Dengan merogoh kocek sebesar 12 Euro per orang, kami dapat masuk sepuasnya. Para pengunjung museum tentunya memiliki motif yang berbeda-beda, ada yang memang sangat mencintai seni, ada yang mendalami ilmu-ilmu sejarah, ada pula yang hanya ingin melihat lukisan fenomenal tersebut. Kami termasuk contoh yang terakhir. Museum itu sangatlah besar, butuh perjuangan besar untuk melihat karya terbesar Leonardo da Vinci itu. Setelah berjalan berputar mengikuti petunjuk arah yang ada di peta, akhirnya kami sampai juga di dalam ruangan yang cukup besar dan SANGAT RAMAI oleh pengunjung. Kami harus berdesak-desakan terlebih dahulu untuk dapat mengambil gambar. Dan, tidak sesuai ekspektasi kami, lukisan itu ternyata kecil sekali.

1428071359811257746

5.“Lampu lampu, murah murah” Kata-kata ini saya kutip tanpa saya translate terlebih dahulu. Bukan dari orang Indonesia, bukan pula dari orang lokal yang telah lama tinggal di Indonesia, melainkan dari pedagang souvenir yang saya temui di seputaran menara Eiffel. Apakah mereka sering mendapatkan pembeli dari Indonesia dan Malaysia, saya tidak tertarik untuk bertanya, nanti saya disuruh membeli. Di kota-kota turis lain seperti Brüssel, Praha, atau Hamburg saya harus memasuki kios-kios kecil jika ingin mencari oleh-oleh, tapi tidak di kota ini. Jumlah para penjual souvenir yang didominasi orang berkulit hitam ini bisa terbilang cukup banyak. Dan lucunya lagi, setiap beberapa menit mereka berlarian tanpa alasan yang jelas. Mungkin ada tibum atau semacamnya. Dan benar saja, kami melihat ada petugas bersenjata dari kejauhan.

[2.] The annoying Eiffel Tower sellers

6.Tiada hari tanpa Baguette Nyam nyam. Si roti kurus dengan diameter 5 atau 6 cm dan panjang normal 65 cm (bisa pula mencapai 1 meter) selalu dibawa oleh penduduk lokal dalam perjalanannya. Biasanya di pagi hari rotinya masih sangat panjang, hingga malam tiba, rotinya sudah tersisa sekitar 10-20 cm. Kami berasumsi mereka memakan roti yang sama sebagai bekal di pagi hari dan baru habis ketika berjalan menuju rumah masing-masing pada malam hari.

[3.] Eating Baguette Yap, segitu saja yang dapat saya ingat dalam perjalanan pertama saya ke Paris. Lain kali jika saya mendapatkan kesempatan kedua dan menginap lebih lama disana, pasti akan saya tambahkan. Mungkin pesan terakhir saya, selalu hati-hati terhadap barang bawaan Anda. Copet cukup banyak berkeliaran dan jangan terlalu senang jika ada orang yang menyapa “speak English?”, mungkin saja mereka ingin meminta uang. Sekian, dan terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca, ini hanya tulisan dari sudut pandang pengunjung yang pertama kali ke kota tersebut. Jika ada kesalahan, mohon dikoreksi :) Salam hangat, Putu Teguh Satria Adi Aachen, 3 April 2015 Sumber: [1.] http://photos1.blogger.com/img/241/3707/1024/100_40561.jpg [2.] http://images.travelpod.com/tw_slides/ta00/c90/038/eiffel-tower-sellers-of-souvenirs-annoying-paris.jpg [3.]http://www.yanidel.com/Pictures/man%20eat%20baguette%20paris%20HR.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline