Lihat ke Halaman Asli

The Wrong Man in the Wrong Place

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_28108" align="alignleft" width="150" caption="Ilustrasi"][/caption] Sabtu siang tadi saya sangat kecewa sekaligus lemas. Kecewa sebab tersadar kembali dengan keterbatasan kemampuan dalam mengolah angka-angka. Dan lemas setelah melihat hasil ujian Statistika, ternyata hasil pekerjaan saya cuma dihargai 61, nilai terendah di kelas.  Saya memang kurang cerdas ketika harus berurusan dengan angka-angka di samping tidak menyukainya. Bagi saya, deretan angka ke bawah dan ke samping itu tidak indah. Adagium the wrong man in the wrong place sangat tepat menggambarkan perolehan nilai 61 saya. Jika tidak diwajibkan oleh pihak pengelola program studi, tentu Statistika menjadi hal yang wajib saya jauhi. Saya tidak mau terjebak dalam situasi yang tidak nyaman penuh keterbatasan. The wrong man in the wrong place, terperangkap dalam sistem yang memaksa. Dan ini, kurang lebih sama dengan  beberapa pejabat yang mengurus negeri ini. Saya tidak akan menyebut siapa saja. Kurang etis. Dapat kita hitung, berapa banyak pejabat yang karena faktor politik menduduki posisi tertentu di pelbagai lembaga dari pusat hingga daerah. Politik memang tidak dapat disalahkan, sebab hanya sebuah metode dan sistem. Mekanisme penyaringan input yang seharusnya dikoreksi dan dibenahi. Nilai 61 akibat the wrong man in the wrong place yang saya alami dampaknya hanya saya yang merasakan. Jika ini terjadi dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni  para pejabat itu, kekecewaan masyarakat pasti akan meluas. Dan efek lanjutannya tentu tidak main-main, masa depan negara dipertaruhkan. Hal ini jika mengingat unsur sosiologis negara menurut rumusan Rudolf Kjellin terdiri dari masyarakat, ekonomi, dan Kultur. Ketika saya mengerjakan ujian itu,  hanya mengandalkan kemampuan diri saya sendiri tanpa minta bantuan kawan-kawan yang lebih mahir. Ini tentu karena saya menghormati kode etik ujian itu sendiri meski sifat ujian dikerjakan di rumah [take home test]. Berbeda dengan para pejabat yang tentu saja dikelilingi para staff ahli dalam mengambil suatu kebijakan. Bahkan tidak jarang untuk pidato sambutan pun urusan pembuatannya diserahkan kepada staffnya. Jika kondisinya demikian tentu ini lebih repot lagi. Para pejabat itu tentu tidak tahu menahu titik pangkal kebijakan yang akan dibuat bahkan tujuannya akan tidak jelas. Pejabat adalah perumus kebijakan, jika fungsi ini diambil alih oleh orang lain sedikit banyak pasti ada penyimpangan-penyimpangan dan bias. Itu belum termasuk unsur sifat bawahan yang cenderung asal bapak senang. Jadi wajar saja jika negara ini seperti salah urus. Banyak para punggawanya tidak memiliki kompetensi keahlian yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Idealnya, para pejabat yang menduduki posisi tertentu harus dari pejabat karir yang benar-benar mulai dari nol hingga jam terbang dalam bidangnya memadai untuk diadaulat memimpin suatu lembaga. Ini pun belum solusi terbaik jika ditengok dengan perbandingan karir kuliah Statistik saya. Secara keseluruhan, hampir 6 semester saya mendapat ceramah dan praktek perkuliahan mengutak atik angka itu. Nilai tertinggi saya, cuma dapat B. Itu pun cuma sekali. Jam terbang dan usaha keras ternyata belum cukup mendongkrak prestasi. Jadi bagaimana menurut anda, agar negara ini tidak berada di tangan the wrong man in the wrong place? gambar dari sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline