Lihat ke Halaman Asli

Clothing Company, Menanamkan Kecintaan Terhadap Produk Lokal

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari baru beranjak siang, namun antrian panjangpara pengunjung telah mengular di sekitar halaman Monumen Perjuangan Jawa Barat, Bandung. Sejak pagi, selama berjam-jam, mereka rela menunggu pintu masuk Kreatif Clothing Kommunity Festival (KickFest) Indonesia 2013 dibuka, tepat pukul sepuluh.

Setelah membeli tiket seharga limabelas ribu Rupiah, para pengunjung pun berbondong-bondong menyusuritangga yang menghubungkan pintu masuk dan area utama perhelatan akbar ini. Selain 80 gerai produsen pakaian (clothing company)yang menawarkan 100 merek lokal ternama, terdapat pula 36 kios makanan dan tiga panggung, tempat para musisi tampil membawakan karya-karya mereka (Tribunnews, 10 Oktober 2013).

Selama tiga hari, hajatan akbar produsen busana lokal di Indonesiaini berhasil menarik lebih dari 20.000 orang. Walaupun mengalami penurunan jumlah pengunjung bila dibandingkan tahun sebelumnya, namun keteraturan penataan gerai dan kualitas produk yang semakin bagus menjadi nilai tambah yang patut dibanggakan dalam acara Kickfest Indonesia 2013.

Ketika dirintis sewindu silam, tak banyak yang menyangka acara ini dapatdiselenggarakan setiap tahun . Namun kini hajatan akbar ini telah menjelma menjadisalahsatutolok ukur perkembangan industri kreatif, terutama produk busana lokal. Kunci sukses acara ini tak hanya terletak pada apresiasi konsumen yang besar, namun juga konsistensi para produsen dalam menelurkan ide-idebaru dan segar.

Semangat Independen

Kisah sukses bisnis Clothing Company seperti sekarang hampir tak dibayangkan oleh para perintisnya. Pasalnya, mereka datang dari berbagai komunitas independen bermodal cekak yang hanya mengandalkan kemandirian, kreativitas,jaringan pertemanan, dan keinginan kuat untuk menghadirkan sesuatu yang berbeda.

Modal ini sebenarnya berakar dari spirit kebebasan dalammengekspresikan diri yang melahirkan identitas independendi kalangan anak muda Bandung sejak 1970-an. Walaupun dalam perjalanannya, generasi muda terus berganti, tetapi kontiniuitas gagasan ini terus berlanjut dan semakin matang memasuki awal dasawarsa 1990-an.

Seiring perjalanan waktu anak-anak muda Bandung tak lagi ragu untuk memperjuangkan idealisme yang berkiblat pada kultur independen. Melalui berbagai komunitas yang ada, mereka berani mengekspresikan diri melalui gaya hidup yang keluar jalur namun dengan daya kreatif yang luar biasa. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari busana tak bisa yang mereka kenakan.

Sebelum produsen-produsen pakaian (clothing company) lokal menjamur, distribution store (distro) berbasis rumahan menjadi tempat untuk mendapatkan barang-barang eksklusif yang tak dapat ditemukan di tempat lain.Menurut Uttu (Indside Indonesia, Edisi Januari-Maret 2006), distro mulanya merupakangerai yang menjual produk busana yang biasa dikenakan komunitas Punk dan Metal.

Di Bandung, distro telah muncul sejak awal 1990-an. Gagasannya bermula dari interaksipara pengemar skateboard, yang diinisiasi Didit, Helvi, dan Richard Mutter di salahsatu sudut Taman Lalu Lintas (Sejarah Distro di Bandung, 2011).Mereka kerap berdiskusi mengenai banyak hal, termasuk gaya berbusana anak muda. Salahsatu permasalahan yang sering dibahas adalah sulitnya menemukan perlengkapan yang menunjang hobi mereka berpapan luncur.

Untuk itu, tiga sekawan ini bersepakat untuk mengelola sebuah rumah di Jalan Sukasenang, Bandung. Reverse kemudian menjadi nama yang kemudian mereka sepakati. Tajuk itu merupakan ekspresi protes terhadap para produsen pakaian di Cihampelasyang menjual barang-barang bermerek impor. Seharusnya, mereka berani mengusung merek-merek sendiri (Sejarah Clothing dan Distribution Store, 2007).

Pada 1993, toko ini resmi beroperasidengan mendatangkan barang-barang dari luar negeri. Alasannya, hampir tak ada produsen dalam negeri yang memproduksi barang-barang eksklusif yang kerap dipakai anggota komunitas Punk atau Skateboard. Di luar dugaan, animo anak muda terhadap produk-produk semacam ini sangat tinggi. Namun Reverse tak sekadar menjadi gerai, tetapi juga tempat berkumpulnya beragam komunitas independen di Bandung.

Setahun berselang, Reverse membuka studio musik independen. Sejak saat itu pula gerai ini semakin ramai dan kerap disambangi komunitas musik dari beragam aliran. Berbagai demo lagu kelompok musik lokal kerap diperdengarkan. Penjualan albumnya pun meroket. Walhasil banyak band lokalyang mendadak tenar dan digilai para pengemar ((Sejarah Distro di Bandung, 2011).

Tawaran untuk pentas di berbagai tempatpun segera berdatangan. Selain manggung, kelompok musik ini pun kerap membawa barang-barang distro untuk dijual di sekitar panggung musik. Ternyata strategi ini sangat berhasil. Belakangan, band-band lokal ini memilih untuk menjual produk-produk mereka sendiri, sebagai media berpromosi.

Perlahan tapi pasti, pasar produk-produk pakaian lokal mulai terbentuk. Barang-barang impor yang dijual di distro menjadi tren busana di kalangan anak muda. Jumlah gerai-gerai distribusi pun semakin banyak. Barang yang dijual pun kian spesifik. Sayang, ketika bisnis ini mulai mengeliat, Indonesia diterpa oleh krisis moneter.

Melemahnya nilai tukar Rupiah, membuat harga barang-barang impor melonjak tajam. Banyak distro yang tak sanggup lagi untuk membeli barang dan akhirnya gulung tikar. Reverse, pioneer distro di Indonesia pun bernasib sama. Setelah mencoba bertahan, akhirnya mereka gulung tikar. Untuk sementara, bisnis pakaian lokal independen pun meredup.

Mengeliat Paska Krisis

Memburuknya perekonomian Indonesia, membuat banyak perusahaan terpaksa memecat para pegawainya. Untuk menyambung hidup, sebagian orang yang terkena pemutusan hubungan kerja itu beralih menjadi wirausaha. Di Bandung, usaha kaos oblong menjadi salahsatu yang dilirik. Pilihan ini terbukti tak salah. Ketika harga baju impor yang melonjak, busana lokal pun menjadi alternatif.

Bisnis ini pun menjadi anomali di tengah krisis yang melanda. Kios-kios kaos oblong berbasis industri rumahan pun segera bermunculan. Sebagian besar terpusat di kawasan Suci ((Kompas, 12 Oktober 2008). Realitas ini segera ditangkap sebagai peluang oleh pihak-pihak yang dahulu mengelola distro. Kini mereka tak perlu lagi mengandalkan barang impor yang mahal karena stok produk lokal yang melimpah.

Sosok-sosokyang bergiat di komunitas independen pun menjadi inisiatornya. Sejak 1996, Dadan Ketu telah membuka Riotic yang menyediakan berbagai jenis barang buatan sendiri bagi komunitas Punk. Di tahun yang sama Dandy pun membuka 347 Boardier yang menyediakan produk-produk yang mendukung hobi skateboard, sepeda BMX, dan selancar.

Pada 1997, Helvi yang pernah mengelola Reverse mendirikan clothing company bernama Airplane.Belakangan pengelolaannya diserahkan padaFiki dan Colay. Clothing company iniberfokus pada peyediaan perlengkapan papan luncur. Setahun berselang (1998),sebuahprodusen lokal sejenis pun muncul dengan mengusung merek Ouval (Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2007).

Dalam waktu singkat bisnis busana lokal ini pun mengeliat. Barang-barang eksklusif yang dipasarkan melalui jaringan distro di Bandung laku keras. Produk ini pun segera menjadi tren busana di kalangan anak muda. Bagi mereka, selain harganya relatif murah, stok yang terbatas, dan desain unik menjadi alasan utama untuk mengandrungi produk-produk ini.

Pencapaian ini tak saja membuat produk-produk busana lokal menjadi populer, tetapi juga menjadikanclothing company sebagai bisnis yang mengiurkan. Kini para investor pun tak lagi ragu untuk menanamkan modal. Walhasil jumlah produsen pakaian lokal pun semakin banyak dan mencapai puncaknya pada 2002-2003. Di Bandung, terdapat lebih dari dua ratus clothing company yang memproduksi lebih dari 500 jenis produk busanasetiap bulannya.

Revolusi Kultural

Menjamurnya produsen busana lokal independen tentunya membuat persaingan usaha semakin ketat. Apalagi mereka juga harus menghadapi produk-produk impor yang mengusung merek-merek internasional. Beberapa produsen busana lokal pun memilih mengekor strategi pemasaran konvesional dengan memproduksi barang secara massal dan mengikuti selera konsumen (Uttu, Indside Indonesia, Edisi Januari-Maret 2006).

Namunsebagian lagi memilih untuk mempertahankan ideologi desain mereka yang berakar pada budaya independen.Dalam menghadapi persaingan, clothing company semacam ini tetap memproduksi barang dalam jumlah yang terbatas, mengeksplorasi gagasan-gagasan desain untuk menciptakan selera berbusana yang baru , dan tetap memasarkannya melalui jaringan distro.

Jalan tak populer yang mereka pilih bukan tanpa terjal. Kemunculan produsen-produsen busana lokal medioker yang kerap membuat produk-produk yang mirip dan bahkan secara terang-terangan membajaknya dengan kualitas yang sangat buruk dan harga yang begitu rendah. Tentu saja, hal ini merusak citra clothing company yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Untuk itu, pada 2006, para pemilik clothing company pun menghelat sebuah pertemuan. Mereka duduk dalam satu meja untuk membicarakan berbagai persoalan, termasuk peniruan dan pembajakan produk-produk busana. Hasil pertemuan itu, melahirkan sebuah forum bernama Kreatif Independent Clothing Kommunity (KICK).

Di tahun yang sama, organisasi ini mengagas perhelatan yang melibatkan berbagai produsen pakaian lokal independen bernama Bandung Indie Clothing Expo. Hajatan perdana ini ternyata sukses besar sehingga KICK pun memutuskan memperluas skala kegiatan ini. Sejak 2007, namaKreatif Independent Clothing Kommunity Festival (KickFest) mulai dipakai.

Pada tahun ketujuh (2013), nama Indonesia mulai dipakai sebagai tajuk acara ini. Penambahan kata ini tentu memiliki maksud tertentu. Salahsatunya mendorong kencintaan terhadap penggunaan produk lokal, seturut tema besar acara ini,Support Your Indonesia Brand. Tentu saja, untuk urusan ini, kaum muda dapat menjadi peloporyang mengkampayekan revolusi kultural ini ke khalayak luas.

Semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline