Lihat ke Halaman Asli

Demi Negara, Merdekakan Dirimu dari Pamrih, Nak!!

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_129908" align="alignleft" width="270" caption="sumbeer gambar : arashi-yukawa.deviantart.com"][/caption]

Masih pukul 4.30 dinihari tatkala motor Jono ditemani dengan Robi anak semata wayangnya harus menembus selimut kabut dan dinginnya udara yang menyusup disela-sela jaket yang mereka pakai. Pagi itu Jono telah berjanji untuk mengajak Robi yang berusia 7 tahun untuk ikut upacara bendera memperingati kemerdekaan RI yang ke 66 tahun di sekolahtempatnya berdinas. Jono, seorang kepala sekolah SMP. Jangan dibayangkan sebuah SMP unggulan atau swasta dengan fasilitas lengkap dan nyaman, jangan. Sekolah yang dikepalai Jono adalah SMP negeri yang terletak di sebuah pelosok timur kota.

"Pak, setiap pagi bapak kok tahan udara dingin seperti ini?," tanya Robi.

Jono tersenyum mendapat pertanyaan jujur anaknya. Setiap hari kecuali minggu memang seperti inilah perjalanan hari Jono dimulai. Menembus dinginnya udara pagi untuk tugas yang diembannya sebagai kepala sekolah SMP negeri.

"Bapak kan sudah terbiasa Nak, jadi sudah tidak pernah kedinginan lagi," Jono membesarkan hati Robi. Sekali lagi Jono tersenyum, terbayang olehnya bagaimana kadang dia harus tetap berangkat walau hujan deras menerpa.

Melewati jalanan yang masih lengang dengan sekali-kali bertemu rombongan pedagang ataupun pembeli yang berangkat atau pulang dari pasar, Jono melajukan motornya dengan kecepatan sedang. 30 menit berlalu dan sang surya masih sebatas memendarkan langit dengan sedikit kemerahan. Pemukiman penduduk dan beberapa areal persawahan telah dilalui. Tak lama kemudian mereka sampai di areal hutan jati. Jono memperlambat laju motornya. "Rob, sebentar lagi kita akan melawati jalan yang kondisinya rusak, pegangan erat ya". Robi mengangguk dan perlahan melingkarkan tangannya erat-erat ke perut bapaknya.

"Kita masuk hutan pak ya," tanya Robi dengan belolok matanya melebar. Kepalanya menoleh ke kanan kiri memperhatikan kondisi sekitarnya.

"Iya Nak, tapi gak lama kok mungkin sekitar 30 menit," jawab Jono sambil mengarahkan motor dengan berkali-kali zigzag menghindari lubang. Sulit sebetulnya bagi Jono memlih jalur untuk motornya karena sebetulnya hampir 80 persen jalan telah membentuk punggung dan lembah.

"Kenapa jalannya rusak parah pak? Kenapa tidak dibetulkan?"

Mendapat pertanyaan demikian Jono menghela nafasnya lebih dalam. Jalanan ini sebetulnya baru beberapa bulan ini saja mengalami kerusakan sejak truk-truk besar pengangkut pohon-pohon besar hasil tebanganmulai berseliweran. Penebangan liar atau entah apa susah bagi Jono untuk menjelaskan. Dari selentingan beberapa koleganya di Pemda sana, katanya perijinan untuk menebang hutan tersebut ada namun tidak jelas seberapa besar area yang diijinkan. Perijinan?? Jono tersenyum dalam hati, perijinan untuk merusak alam kok ya bisa keluar. Lain soal kalau daerah ini kaya akan hutan, sementara ini merupakan hutan satu-satunya di kota ini, gerutunya dalam hati.

"Jalan ini rusak karena dilalui truk besar nak, dan dulu jalan ini dibuat hanya untuk mobil kecil makanya tidak kuat dan sekarang jadi rusak," jelas Jono. Robi mengangguk kecil berkata, "kalau begitu jalan ini harus dibuat lagi pak". Giliran Jono yang mengangguk sambil tersenyum sambil terus berkonsentrasi mengendarai motornya.

Beberapa menit kemudian, perlahan sang surya mulai berani menunjukkan wujudnya. Kondisi ini membantu Jono melintasi jalan rusak tersebut agar jangan sampai terjebak lubang besar dan menjerembabkannya seperti yang telah 3 kali dialaminya. Tak lama, areal hutan kini sudah berada di belakang mereka. Kini mereka melewati sebuah pemukiman pedesaan. Rumah-rumah sederhana dengan pagar tanaman sederhana dibelah secara perlahan oleh motor Jono. Walau tak bisa dikatakan bagus namun kondisi jalan yang dilalui sekarang lebih aman dilalui. Masih makadam dan belum teraspal namun cenderung rata dan rapi.

Setelah 15 menit berlalu, terlihat beberapa anak berseragam sekolah SD dan SMP mulai berjalan di kanan-kiri jalan. Di daerah tersebut sekolah tingkatan tertinggi memang baru sebatas SMP, sementara bagi anak-anakyang melanjutkan sampai tingkat SMA harus pergi ke kota dengan rute yang hampir sama dilalui Jono. Perlahan Jono memperlambat laju motornya, beberapa anak berseragam SMP dan orang-orang dewasa menyapa hormat kepadanya dan mendapatkan senyuman balasan dari Jono. Robi yang ada diboncengannya memperhatikan kondisi tersebut dan diam-diam bangga melihat bapaknya dihormati oleh banyak orang.

Setelah melalui satu belokan, perlahan Robi melihat dan mendekati sebuah halaman yang cukup luas dengan beberapa bangunan sederhana di arealnya. "Nah, kita sudah sampai Nak", ujar Jono sambil menoleh perlahan ke Robi. Perlahan Robi melepaskan lingkaran tangannya. Mereka berdua turun dari motor dan Jono mendorong motornya menuju area parkir tak jauh di sebelah kiri dari pintu gerbang sekolah. Sementara Robi asyik mengamati bangunan-bangunan kelas yang tak jauh dari situ. Setelah memarkir motornya, Jono menggandeng Robi jalan perlahan menuju ke ruang guru yang berada tepat di tengah antara dua bangunan.

“Pak, sekolahnya kok masih lebih bagus sekolah Robi,” tanya Robi lugas secara tiba-tiba.

Jono yang agak setengah kaget tak kuasa menahan senyum lebarnya. Memang apa yang dikatakan Robi adalah demikian adanya. Di kota, walaupun Jono tidak mampu menyekolahkan Robi di sekolah unggulan ataupun swasta yang bagus namun SD negeri di sana dari sisi bangunan secara fisik tampak bagus. Kondisi itu jauh sekali bila dibandingkan dengan bangunan kantor dan kelas yang kini dikepalainya. Atapnya adalah genteng biasa kualitas rendah dengan warna merah yang pudar cenderung coklat. Beberapa cekungan terlihat dibagian atasnya pertanda rangka-rangka kayu penahannya mulai turun karena keropos.

Turun dari atap, tak jauh berbeda kondisinya adalah plafon-plafon terbuat dari triplek yang dipenuhi bercak-bercak hitam bekas kebocoran. Beberapa sudut bahkan serat-serat tripleknya mulai terlihat memisah dan mau jatuh. Beruntung kondisi lantainya yang berbahan teraso masih tampak terawat karena rajin dibersihkan. Begitupula cat dinding dalamnya yang tampak bersih karena baru dicat tahun lalu, walau cat dinding bagian luar masih sedikit berjamur karena belum dicat.

Dana perawatan yang turun dari pusat sering tak sesuai dengan harapan, itulah kenapa Jono harus pintar-pintar mengalokasikan dana tersebut. Tak jarang pula, atas swadaya para guru dan orang tua murid, pada minggu-minggu tertentu mereka mengadakan kerja bakti untuk memperbaikibagian-bagian bangunan yang rusak.

Sadar akan pertanyaan putranya, Jono menoleh ke Robi dan tersenyum bijak. “Masih ada waktu 15 menit sebelum jam 7, ayo kita coba lihat ke dalam yuk,” ujarnya sambil menyalami satu demi satu muridnya yang sengaja datang menyalaminya.

Sesampainya di ruang guru, Jono menyalami 3 orang guru yang telah datang sebelumnya sambil mengenalkan Robi. Di dalam ruang guru, Robi terlihat tertarik terhadap segala hal yang ada di dalamnya.Walau dari luar terlihat bangunan-bangunan tersebut kurang terpelihara, namun ternyata bagian dalam bangunan beserta akesoris-aksesorisnya masih terlihat bagus, begitu benak Robi menyatakan. 5 menit menjelang upacara bendera dimulai, Jono mengajak Robi masuk ke ruang perpustakaan sekolah dan menunjukkan beberapa koleksi buku.

“Nah, selama upacara berlangsung nanti Robi menungu di sini ya. Silakan pilih buku apapun untuk dibaca tapi harus dirapihkan kembali ketempat setelahnya,” pesan Jono. Tampak jelas bola mata Robi membulat pertanda ia senang sekali berada di ruangan tersebut. Jono mengerti bahwa anak semata wayangnya tersebut senang membaca dan pasti akan senang bila menunggu di ruang perpustakaan.

Tak lama kemudian upacara bendera memperingati kemerdekaan RI ke 66 dimulai. Sambil membaca buku di dalam perpustakaan, Robi mengamati jalannya upacara yang dibina langsung oleh bapaknya. Tiba saat pengibaran bendera merah putih, semuanya tampak hening. Dari dalam Robi melihat sosok bapaknya dalam posisi memberi hormat kepada bendera yang sedang dikerek perlahan ke atas.

Robi tidak begitu mengerti akan arti kemerdekaan, namun pikirannya menerawang kembali ke perjalanan yang telah dilaluinya pagi tadi. Mulai dari menembus tebalnya kabut dan dinginnya udara pagi, jalanan rusak dan berbahaya, dengan perjalanan selama 2 jam naik motor, itu semua dilalui oleh bapaknya tanpa keluh kesah setiap hari. Di panggung upacara, terlihat bapaknya tetap dalam posisi tegap memberi hormat dan melirik sedikit tersenyum kepadanya. “Aku bangga padamu pak,” bisik Robi seketika dalam hati.

Di panggung upacara, Jono khidmat memberihormat kepada sang bendera merah putih. Sesekali diliriknya Robi di dalam ruang perpustakaan di sisi berdekatan dengan tiang bendera. “Kelak suatu saat, engkau akan mengerti akan arti berbakti pada negara. Demi Nusa dan Bangsa, merdekakan dirimu dari pamrih, Nak!!,” bisik Jono dalam hati sambil tersenyum ke arah putranya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline