Periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir Oktober mendatang, dan berlanjut ke periode kedua (2019-2024) setelah menang dalam Pemilihan Presiden tahun ini.
Mengukur prestasi pemerintah selama lima tahun terakhir dari sektor perfilman yang berjalan di tempat tidaklah bijak. Sebab, perfilman hanyalah skrup kecil dari kendaraan besar negara Republik Indonesia.
Tetapi, Amerika Serikat sangat mengandalkan film di medan pertempuran ideologi, untuk menguasai sektor informasi, ekonomi, kebudayaan sampai politik.
Perang fisik yang brutal tidak menjadi pilihan utama lagi ketika warga dunia semakin cerdas. Pencapaian Hollywood terbukti mendorong negara Paman Sam menjadi nomor wahid hingga saat ini.
Bagaimana dengan nasib perfilman Indonesia yang sudah berusia lebih dari 100 tahun (jika dihitung sejak adanya Sensor Film), apakah sudah "menjadi tuan rumah di negara sendiri, dan dihormati oleh negara lain", seperti digaungkan oleh para aktivis perfilman era perjuangan di tahun 1950-an?
Kalau untuk sekadar berbangga diri atau meneguhkan keyakinan agar tidak terjerumus masuk ke suasana minder secara psikologis, maka jargon "bangga film Indonesia" tidak ada salahnya dikibarkan.
Sebab, siapa yang membanggakan produk sendiri kalau bukan kita, masyarakat dan bangsa Indonesia? Namun, pada tataran praktik di lapangan, Indonesia belum layak merasa bangga dengan film-filmnya. Konteks kesadaran ini adalah mengenai Indonesia secara luas, bukan tentang lingkaran sineas Indonesia.
Dalam skala kecil di lingkungan internal, misalnya film memiliki perangkat hukum berupa UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Di dalamnya, tercakup serangkaian peraturan tata kelola yang diharapkan menjadi rambu serta nafas kehidupan industri perfilman termasuk bagi kalangan kreator serta tenaga kerja di dalamnya agar memiliki kehidupan yang lebih sejahtera.
Sayangnya, UU Perfilman yang lahir prematur dan disaksikan oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI) itu tidak pernah diberi nafas berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebagai petunjuk pelaksananya. Artinya, selama 10 tahun sejak UU Perfilman disahkan, masyarakat film hidup liar tanpa aturan.
Hidup seperti di hutan belantara inilah, film Indonesia bersaing sengit dalam ruang industri yang sempit (keterbatasan jumlah layar) yang disebutkan oleh UU No. 33 Tahun 2009 memiliki kuota sebesar 60 : 40 dibandingkan dengan film-film impor.
Persaingan itu menjadi sangat tidak sehat dan berakibat fatal karena ketiadaan pp; sementara hukum pasar bebas mulai mendesak masuk. Rumah produksi kecil dengan sendirinya dimakan oleh yang besar dan memiliki peluang untuk mendapat jaminan tayang di bioskop. Situasi ini menyebabkan film Indonesia menjadi kanibal, saling bunuh.