Chrisye adalah sebuah noktah keindahan musik pop yang menyelubungi pusaran rindu. Lagu-lagunya seakan menarik-narik pendengar untuk bergerak ritmis, atau menghayati maknanya.
Ketika saya berkunjung ke kediaman Haris Jauhari di Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada pertengahan Maret 2019, lagu-lagu Chrisye membahana seperti 'mengurung' waktu kunjungan saya, dan dua rekan, Dudut Suhendra Putra serta Herman Wijaya sesama jurnalis.
Rumah tokoh pendiri dan ketua pertama organisasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) itu cukup besar dan asri. Bangunannya bertingkat dengan hamparan tanah lapang hijau ditumbuhi rumput Jepang pada sisi belakang bangunan. Secara umum bangunan rumah baru ini bergaya campuran modern, retro dan vintage.
Lagu-lagu Chrisye mengalun dari beberapa speaker yang sengaja dipasang di langit-langit ruangan. "Silakan bikin kopi sendiri-sendiri," kata Haris Jauhari saat mulai mencarikan lagu untuk para tamunya.
Sore itu kami terutama saya, Dudut dan Herman mengenang tentang Chrisye. Kami mengobrol tentang fans Chrisye dan kerinduan pada sosok legendaris itu sampai menjelang Magrib.
Maka, hari ini tanggal 30 Maret 2019 mengingatkan saya pada dua perayaan besar yaitu Hari Film Nasional dan Hari Wafatnya almarhum Chrisye. Saya teringat pada Komunitas Kangen Chrisye (#K2C) yang diketuai Ferry Mursyidan Baldan, politisi senior pengagum Chrisye.
Sejak Chrisye meninggal dunia pada 30 Maret 2007 hingga 12 tahun setelahnya, pada hari ini #K2C konsisten dengan kerinduannya pada sosok Chrisye.
Hari kepergian Chrisye itu menjadi peringatan khusus bagi #K2C. Mereka mengenang sambil menjaga aktualitas penyanyi dan pencipta lagu bernama asli Chrismansyah Rahadi itu.
Sebagai fans Chrisye 'garis keras', Ferry Mursyidan Baldan tak pernah absen memperingati tanggal 30 Maret.
Bahkan, di tengah kesibukannya menjelang pesta demokrasi, dia masih mengingat hari itu. "Saya datang takziah ke rumah almarhum di Jalan Asem II dan mengantarkannya ke makam di Jeruk Purut," kata Ferry Mursyidan Baldan.